KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
MENGUJI KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT/SEMENTARA TERHADAP
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
Viswandro
Fakultas
Hukum Universitas Mulawarman
Jalan
Sambaliung, Kampus Gunung Kelua, Samarinda-75123
e-mail:
wandro473@yahoo.com
Abstrak
Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji
(Judicial Review) Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi hal yang kontroversi dan debatable di dalam Sistem Hukum
Indonesia. Adanya pro dan kontra atas kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk
menguji Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat/Sementara, tentunya dalam hal
ini ketetapan yang bersifat mengatur umum (regeling)
sehingga dilakukan analisis untuk mengetahui kewenangan Mahkamah Konstitusi
melakukan pengujian tersebut (judicial review).
Dengan melakukan analisis kritis maka dapat disimpulkan Mahkamah Konstitusi
sesungguhnya berwenang menguji Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia yang bersifat regeling.
PENDAHULUAN
Mahkamah Konstitusi adalah
sebuah lembaga negara Indonesia yang ada setelah adanya amandemen Undang-Undang
Dasar Tahun 1945. Perubahan tahap ketiga Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (sekarang
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945) mengadopsi pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga
yang berdiri sendiri di samping Mahkamah Agung dengan kewenangan yang diuraikan
dalam Pasal 24C Ayat 1 dan Ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 memerintahkan dibentuknya Mahkamah Konstitusi
selambat-lambatnya tanggal 17 Agustus 2003. Sebelum dibentuk segala kewenangan
Mahkamah Konstitusi dilakukan oleh Mahkamah Agung. Tanggal 13 Agustus 2003,
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi disahkan,
kemudian tanggal 16 Agustus 2003 para hakim konstitusi dilantik, dan mulai
bekerja secara efektif pada tanggal 19 Agustus 2003.
Dalam konteks
ketatanegaraan Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan: Pertama, sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan
keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Kedua, Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar
konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara
konsisten dan bertanggung jawab. Ketiga,
di tengah kelemahan sistem konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan
sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai
keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat.[1]
Mahkamah Konstitusi
memiliki fungsi utama yaitu mengawal supaya konstitusi (Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945) dijalankan dengan konsisten (the guardian of the constitution) dan
menafsirkan konstitusi (the interpreter
of the constitution), sehingga dengan fungsi dan wewenang tersebut Mahkamah
Konstitusi memiliki arti penting dalam ketatanegaraan dan penyelenggaraan
negara, namun dalam hal tertentu ada yang menjadi kontroversi dan menjadi
perdebatan, dalam hal ini tentang pengujian TAP MPR/S (bersifat regeling).
PEMBAHASAN
Sebelum jauh membahas mengenai
berwenang atau tidaknya Mahkamah Konstitusi menguji (judicial review) Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat/Sementara, ada baiknya mengutip statement
dari Thomas Paine:
“A constitution is not the act of a
government, but of a people constituting a government, and a government without
a constitution is power without right.”[2]
Konstitusi adalah hukum
dasar, norma dasar, dan sekaligus paling tinggi kedudukannya dalam
ketatanegaraan dan sistem hukum sehingga harus dihidupkan spirit daripada konstitusi itu agar dapat tercapainya tujuan negara.
Di samping menghidupkan, harus juga dijaga supaya berjalan sesuai yang
diharapkan/dicita-citakan. Sehingga segala yang berhubungan dengan
ketatanegaraan dan tindakan pemerintah harus berdasarkan konstitusi.
Mendukung statement di atas Prof. Dr. Jimly
Asshiddiqie, S.H. berpendapat sebagai berikut:
“Dalam
konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal
konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional di tengah
kehidupan masyarakat. Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar
konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara
konsisten dan bertanggung jawab. Di tengah kelemahan sistem konstitusi yang
ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi
selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat.”[3]
Pendapat Prof. Dr. Jimly
Asshiddiqie, S.H. tersebut di atas semakin memperjelas sangat pentingnya
konstitusi di dalam bernegara, sehingga harus dihidupkan dan dijaga keberadaan
daripada konstitusi tersebut, dalam hal ini Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman jelas menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai
penguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sebagai wujud pengawalan konstitusi, dalam hal ini undang-undang
sebagai batas terrendah objek pengujian oleh Mahkamah Konstitusi.
Adapun yang menjadi sumber
hukum acara Mahkamah Konstitusi antara lain sebagai berikut:[4]
a.
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
b.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi
c.
Peraturan Mahkamah Konstitusi
d.
Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia
e.
Undang-Undang Hukum Acara Perdata, Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara, dan Hukum Acara Pidana Indonesia
f.
Pendapat Sarjana (doktrin)
g.
Hukum acara dan yurisprudensi Mahkamah
Konstitusi negara lain
Sumber-sumber hukum acara
yang disebut dalam huruf e, f, dan g merupakan sumber tidak langsung yang
sebaiknya diambil alih melalui Peraturan Mahkamah Konstitusi karena kebutuhan
praktik yang timbul disebabkan kekosongan dalam pengaturan hukum acara Mahkamah
Konstitusi.
Setiap orang atau badan
hukum yang hendak mengajukan judicial
review harus memiliki legal standing,
yang mana diatur dalam Pasal 51 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
Tentang Mahkamah Konstitusi, yakni sebagai berikut:
(1)
Pemohon adalah pihak yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang,
yaitu:
a.
Perorangan warga negara Indonesia;
b.
Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c.
Badan hukum publik atau privat; atau
d. Lembaga
negara.
Penting juga diketahui mengenai kedudukan dan fungsi
daripada Mahkamah Konstitusi, karena berdasarkan itu dapat menjadi gambaran ke
pembahasan berikutnya, adapun kedudukan dan fungsinya sebagai berikut:
Kedudukan Mahkamah Konstitusi:
-
Sebagai lembaga negara
-
Pelaku kekuasaan kehakiman
-
Sejajar dengan lembaga negara lainnya
-
Merdeka (Impartial)
Fungsi Mahkamah Konstitusi:
-
Pengawal konstitusi (The guardian
of the constitution)
-
Penafsir final konstitusi (The
final interpreter of the constitution)
-
Pelindung hak asasi manusia (The
protector of human rights)
-
Pelindung hak konstitusional warga negara (The
protector of the citizen’s Constitutional Rights)
-
Pelindung demokrasi (The
protector of democracy)
Dalam pendahuluan telah
jelas maksud daripada tulisan ini, yakni membuktikan bahwa Mahkamah Konstitusi
berwenang menguji (judicial review)
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat/Sementara. Pembuktian tentu harus
berdasarkan landasan hukum/dasar hukum, logika, dan analisis kritis, yang
semuanya diuraikan dalam bentuk argumentasi hukum.
Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat/Sementara yang bersifat regeling sisa delapan ketetapan dan kedelapan TAP MPR/S ini menjadi
perdebatan dan kontroversi hingga saat ini, apalagi jika membahas mengenai judicial review-nya. Dikatakan menjadi
perdebatan dan kontroversi karena kedelapan ketetapan tersebut memiliki pro dan kontra jika disetarakan dengan undang-undang. Namun terlepas dari
kontra, maka argumentasi yang tepat untuk menyatakan kedelapan ketetapan
tersebut setara dengan undang-undang adalah; Pertama, Majelis Permusyawaratan Rakyat berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Nomor I/MPR/2003 telah menurunkan status hukum ketetapan-ketetapan MPR warisan
lama itu ke derajat yang memang setara dengan undang-undang[5],
bukan dengan konstitusi. Kedua,
sebagian besar isi norma yang terkandung di dalam kedelapan Ketetapan MPR/S
berisi rekomendasi mengenai kebijakan-kebijakan yang sangat operasional teknis
atau berisi nilai-nilai etika kehidupan berbangsa yang sangat abstrak. Ketiga, kedelapan produk hukum Ketetapan
MPR/S sisa itu berisi norma-norma hukum yang setara dengan materi
undang-undang. Karena itu, kedelapan produk hukum tersebut dapat dikatakan
sebagai undang-undang dalam arti material (wet
materiele zin).
Berdasarkan
ketiga alasan di atas yang menyatakan TAP MPR/S setara dengan undang-undang
maka tepat jika dikatakan Mahkamah Konstitusi berwenang menguji Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat/Sementara tersebut melalui mekanisme judicial review. Mengingat juga fungsi
Mahkamah Konstitusi sebagaimana terurai di atas, yang mana dikatakan Mahkamah Konstitusi
memiliki fungsi sebagai pengawal konstitusi (the
guardian of the constitution), penafsir final konstitusi (the final interpreter of the constitution),
Pelindung hak asasi manusia (the
protector of human rights), pelindung hak konstitusional warga
negara (the protector of the
citizen’s constitutional rights), pelindung demokrasi (the protector of democracy).
Dengan berdasarkan fungsi sebagai pengawal dan penafsir final konstitusi, maka
bilamana Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat/Sementara tidak sesuai dengan
konstitusi yang dikawal oleh Mahkamah Konstitusi seyogianya ketetapan tersebut
dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi apabila dimohonkan oleh warga negara
Indonesia yang memiliki legal standing.
Demikian halnya bilamana ketetapan tersebut melanggar hak asasi manusia dan hak
konstitusional warga negara, berdasarkan fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai
pelindung hak asasi manusia dan pelindung hak konstitusional warga negara maka
Mahkamah Konstitusi berwenang menguji (judicial
review) ketetapan-ketetapan tersebut.
Landasan hukum argumentasi
yang menguatkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji (judicial review) Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat/Sementara, berangkat dari Pasal 24C Ayat 1 dan Ayat 2 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menggariskan wewenang daripada
Mahkamah Konstitusi sebagai berikut:
(1)
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang Undang
Dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutuskan pembubaran partai politik, dan
memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2)
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
menurut Undang-Undang Dasar.
Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dalam konsideran Menimbang:
a. Bahwa
kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan;
Konsideran
Menimbang tersebut di atas dikaitkan dengan BAB I, Ketentuan Umum poin (3)
Mahkamah Konstitusi adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, juncto poin (7) Hakim Konstitusi adalah
hakim pada Mahkamah Konstitusi.
Kemudian
dalam Pasal 10 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman ditegaskan:
“Pasal 10 (1)
Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”[6]
Pasal
10 Ayat 1 di atas mengacu pada Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang mana substansinya sebagai berikut:
“Pasal 5 (1) Hakim
dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”[7]
Berdasarkan
logika hukum, Pasal 10 Ayat 1 juncto
Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dapat
menjadi landasan hukum pengujian (judicial
review) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat/Sementara (TAP MPR/S) yang
bersifat regeling. Dapat dilihat
frasa yang berbunyi “Pengadilan dilarang
menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara...” dalam
Pasal 10 Ayat 1 jelas frasa tersebut bersifat imperatif, dapat dilihat
penegasannya dalam frasa berikut “...melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya” semakin memperjelas dengan adanya
kewajiban tersebut maka Mahkamah Konstitusi berwenang dalam pengujian Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat/Sementara (TAP MPR/S) yang bersifat regeling. Lantas ada yang bertanya,
bukankah Pasal 10 (1) juncto Pasal 5 (1) itu hanya ditujukan bagi Pengadilan
Negeri/Umum, Pengadilan Agama, Pengadilan Militer, dan Pengadilan Tata Usaha Negara,
di samping itu juga dalam Pasal 10 Ayat 1 tersebut ada kata perkara, tidakkah
itu kurang tepat?
Pertanyaan
itu menggunakan logika yang kurang tepat dengan menyempitkan makna, tentu yang
dimaksud bukan hanya keempat lingkungan pengadilan tersebut di atas, untuk
menjawab pertanyaan di atas dapat dilihat pada konsideran menimbang huruf a
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman jika dikaitkan
pula dengan BAB I Ketentuan Umum poin 3 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman, di sana dikatakan Mahkamah Konstitusi merupakan
‘pelaku kekuasaan kehakiman’ sama dengan keempat lingkungan pengadilan tersebut
di atas (Pengadilan Negeri/Umum, Pengadilan Agama, Pengadilan Militer, dan
Pengadilan Tata Usaha Negara), juga ditegaskan dalam Pasal 29 Ayat 1
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, di sana dapat
dilihat frasa sebagai berikut “Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir...” yang
mana di sana dijelaskan ‘mengadili pada tingkat pertama’ sehingga berimplikasi
Mahkamah Konstitusi sama dengan keempat lingkungan peradilan tersebut, namun
kata ‘terakhir’ menjadi pembeda di antara Mahkamah Konstitusi dengan lingkungan
peradilan lainnya, yang mana kata terakhir hanya berlaku pada Mahkamah
Konstitusi.
Dalam
Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
juga ada frasa sebagai berikut “...Hakim
Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat,” frasa tersebut di atas akan dibahas
kata per kata. Kata menggali, secara filosofis berarti diperlukan usaha untuk
menemukan (masih tersembunyi/belum tampak). Dapat dianalogikan hukum seperti
‘emas’ yang ada di dalam tanah, tentunya emas itu dapat diperoleh jika digali
karena ada di dalam tanah, emasnya tidak tampak bukan berarti tidak ada sama
sekali, namun harus ada upaya penggalian, setelah digali maka diproses
(diolah)/dibentuk, kemudian dapat diperjualbelikan sebagai emas yang berharga.
Demikian halnya hukum, seperti tertulis dalam Pasal 10 Ayat 1 tepatnya frasa
berikut “...bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas,” frasa tersebut tentu tidak boleh menjadi alasan menolak oleh
hakim, melainkan harus ada upaya untuk menemukan dan memperjelas, untuk
menemukan dan jelas hukumnya maka Hakim Konstitusi wajib menggali dan menemukan
hukumnya di tengah masyarakat. Kata mengikuti, itu berarti tidak berhenti pada
kata menggali, namun harus ada keberlanjutan. Jika diibaratkan ‘analogi emas’
di atas maka kata ‘mengikuti’ sama dengan ‘diproses/dibentuk.’ Tentunya kedua
langkah (menggali dan mengikuti) harus berdasarkan nilai-nilai hukum dan
keadilan yang ada dan hidup di dalam masyarakat.
Pada
Pasal 29 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
juga ditegaskan:
“Pasal 29 (1)
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk:
a. Menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. Memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c.
Memutus
pembubaran partai politik;
d. Memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum; dan
e. Kewenangan lain yang
diberikan oleh undang-undang.”
Jika
diinterpretasikan Pasal 29 (1) poin a maka bermakna undang-undang sebagai batas
terrendah yang dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi, itu berarti peraturan
menteri, peraturan daerah, dan lain sebagainya yang di bawah undang-undang
tidak dapat diuji.
Kemudian
dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
wewenang Mahkamah Konstitusi diatur secara khusus, yakni sebagai berikut:[8]
(1) Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk:
a. Menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. Memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. Memutus
pembubaran partai politik; dan
d. Memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2) Mahkamah
Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana lainnya, atau perbuatan
tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Demikian pula halnya
penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
dikatakan sebagai berikut:
“...Sejalan
dengan prinsip ketatanegaraan di atas maka salah satu substansi penting
perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah
keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani
perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar
dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan
cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga
terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi
terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh
tafsir ganda terhadap konstitusi.”[9]
Penjelasan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi di atas ada frasa
yang berbunyi ”...dalam rangka menjaga
konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak
rakyat dan cita-cita demokrasi,” yang mana frasa tersebut menegaskan
Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi agar dilaksanakan secara
bertanggung jawab, sehingga logikanya segala hal yang mengganggu dan tidak
sesuai dengan konstitusi harus diselesaikan
oleh Mahkamah Konstitusi, namun harus diperhatikan, batas terrendah yang dapat
diuji oleh Mahkamah Konstitusi adalah undang-undang, di bawah undang-undang
bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi tetapi kewenangan daripada Mahkamah Agung.
Kemudian
dalam penjelasan tersebut di atas juga ada frasa “...untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil,”
frasa tersebut semakin menguatkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji (judicial review) Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat/Sementara bilamana Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat/Sementara tersebut melanggar hak konstitusional warga negara yang mana
terjadi chaos dalam negara, Mahkamah
Konstitusi seyogianya menguji ketetapan tersebut demi kestabilan dalam
penyelengggaraan pemerintahan.
Berdasarkan uraian di atas
telah terang bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji (judicial review) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat/Sementara
yang bersifat regeling, saat ini di
Indonesia ada delapan ketetapan yang bersifat regeling.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan analisis kritis
maka dapat disimpulkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji (judicial review) kedelapan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat/Sementara (yang bersifat mengatur umum/regeling). Adapun yang menjadi dasar
ialah penyetaraan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat/Sementara dengan
undang-undang (vide: Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor I/MPR/2003).
Landasan hukum yang menyatakan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat/Sementara adalah Pasal 24C Ayat 1 dan 2
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Pasal 10 (1) juncto Pasal 5 (1) juncto
Pasal 29 (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal
10 beserta penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi.
Saran
Akademisi
Diharapkan akademisi dapat
menggali mengenai judicial review
terhadap Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang bersifat mengatur umum (regeling).
Masyarakat Umum
Diharapkan tidak
menyempitkan makna daripada substansi peraturan perundang-undangan tersebut di
atas, sehingga semua warga negara Indonesia dapat mempertahankan hak
konstitusionalnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly.2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (jilid I).
Jakarta:
_____Konstitusi Press
Asshiddiqie, Jimly. 2010. Perihal Undang-Undang. Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada
Siahaan, Maruarar.
2011. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
_____(edisi
2).
Jakarta: Sinar Grafika
Tutik, Titik Triwulan.
2010. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
_____Amendemen
UUD 1945. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Sinaga, Budiman N.P.D.
2004. Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan.
Yogyakarta:
_____UII Press
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
DAFTAR
RIWAYAT HIDUP
(CURRICULUM
VITAE)
Nama : Viswandro
Agama : K. Protestan
Suku : Batak Toba
Pekerjaan : Mahasiswa Hukum
Universitas Mulawarman
Alamat
(sementara) : Jl. Perjuangan 7,
Samarinda
Nomor
Seluler : 0813 4773
4003
Hobi : Membaca,
Analisis, dan Jalan-jalan (traveling)
Motto : Pikiran,
kata-kata, dan tindakan menentukan siapa
saya.
Tokoh
Inspirasi : Jesus Christ,
Mahatma Gandhi, Si Singamangaraja
XII, dan Soekarno
Pendidikan :
1. SD N 025 Ds. Sei Kuti, Kec. Kunto
Darussalam, Kab. Rokan Hulu, Prov. Riau
2. SMP Sw. Eka Prasetya, Medan
3. SMA Sw. Eka Prasetya, Medan
4. S1 (S.H.c) Universitas
Mulawarman
Organisasi :
1. LKBH FH Unmul
2. LKISH FH Unmul
3. FKSH
[1] Titik
Triwulan Tutik, 2010, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amendemen
UUD 1945, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 221
[2] Jimly
Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, Konstitusi Press,
Jakarta
[3] Cetak
Biru, 2004, Membangun Mahkamah
Konstitusi, sebagai Institusi Peradilan Konstitusi yang Modern dan Terpercaya,
Sekretariat Jenderal MKRI, hlm. iv
[4] Maruarar
Siahaan, 2011, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia edisi 2,
Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 59
[5]
TAP MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan
Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun
2002
[6] Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
[7] Ibid
[8]
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
[9]
Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar