Sabtu, 11 Januari 2014

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI MENGUJI KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT/SEMENTARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945



KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI MENGUJI KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT/SEMENTARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Viswandro
Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
Jalan Sambaliung, Kampus Gunung Kelua, Samarinda-75123


Abstrak
Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji (Judicial Review) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi hal yang kontroversi dan debatable di dalam Sistem Hukum Indonesia. Adanya pro dan kontra atas kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat/Sementara, tentunya dalam hal ini ketetapan yang bersifat mengatur umum (regeling) sehingga dilakukan analisis untuk mengetahui kewenangan Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian tersebut (judicial review). Dengan melakukan analisis kritis maka dapat disimpulkan Mahkamah Konstitusi sesungguhnya berwenang menguji Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat regeling.




PENDAHULUAN
Mahkamah Konstitusi adalah sebuah lembaga negara Indonesia yang ada setelah adanya amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Perubahan tahap ketiga Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (sekarang Undang-Undang Dasar  Negara Republik Indonesia Tahun 1945) mengadopsi pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang berdiri sendiri di samping Mahkamah Agung dengan kewenangan yang diuraikan dalam Pasal 24C Ayat 1 dan Ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memerintahkan dibentuknya Mahkamah Konstitusi selambat-lambatnya tanggal 17 Agustus 2003. Sebelum dibentuk segala kewenangan Mahkamah Konstitusi dilakukan oleh Mahkamah Agung. Tanggal 13 Agustus 2003, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi disahkan, kemudian tanggal 16 Agustus 2003 para hakim konstitusi dilantik, dan mulai bekerja secara efektif pada tanggal 19 Agustus 2003.
Dalam konteks ketatanegaraan Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan: Pertama, sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Kedua, Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggung jawab. Ketiga, di tengah kelemahan sistem konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat.[1]
Mahkamah Konstitusi memiliki fungsi utama yaitu mengawal supaya konstitusi (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945) dijalankan dengan konsisten (the guardian of the constitution) dan menafsirkan konstitusi (the interpreter of the constitution), sehingga dengan fungsi dan wewenang tersebut Mahkamah Konstitusi memiliki arti penting dalam ketatanegaraan dan penyelenggaraan negara, namun dalam hal tertentu ada yang menjadi kontroversi dan menjadi perdebatan, dalam hal ini tentang pengujian TAP MPR/S (bersifat regeling).
PEMBAHASAN
Sebelum jauh membahas mengenai berwenang atau tidaknya Mahkamah Konstitusi menguji (judicial review) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat/Sementara, ada baiknya mengutip statement dari Thomas Paine:
A constitution is not the act of a government, but of a people constituting a government, and a government without a constitution is power without right.[2]
Konstitusi adalah hukum dasar, norma dasar, dan sekaligus paling tinggi kedudukannya dalam ketatanegaraan dan sistem hukum sehingga harus dihidupkan spirit daripada konstitusi itu agar dapat tercapainya tujuan negara. Di samping menghidupkan, harus juga dijaga supaya berjalan sesuai yang diharapkan/dicita-citakan. Sehingga segala yang berhubungan dengan ketatanegaraan dan tindakan pemerintah harus berdasarkan konstitusi.
Mendukung statement di atas Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. berpendapat sebagai berikut:
“Dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggung jawab. Di tengah kelemahan sistem konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat.”[3]
Pendapat Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. tersebut di atas semakin memperjelas sangat pentingnya konstitusi di dalam bernegara, sehingga harus dihidupkan dan dijaga keberadaan daripada konstitusi tersebut, dalam hal ini Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman jelas menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai penguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai wujud pengawalan konstitusi, dalam hal ini undang-undang sebagai batas terrendah objek pengujian oleh Mahkamah Konstitusi.
Adapun yang menjadi sumber hukum acara Mahkamah Konstitusi antara lain sebagai berikut:[4]
a.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b.    Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
c.    Peraturan Mahkamah Konstitusi
d.    Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
e.    Undang-Undang Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, dan Hukum Acara Pidana Indonesia
f.     Pendapat Sarjana (doktrin)
g.    Hukum acara dan yurisprudensi Mahkamah Konstitusi negara lain
Sumber-sumber hukum acara yang disebut dalam huruf e, f, dan g merupakan sumber tidak langsung yang sebaiknya diambil alih melalui Peraturan Mahkamah Konstitusi karena kebutuhan praktik yang timbul disebabkan kekosongan dalam pengaturan hukum acara Mahkamah Konstitusi.
Setiap orang atau badan hukum yang hendak mengajukan judicial review harus memiliki legal standing, yang mana diatur dalam Pasal 51 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, yakni sebagai berikut:
(1)  Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a.    Perorangan warga negara Indonesia;
b.    Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c.    Badan hukum publik atau privat; atau
d.    Lembaga negara.

Penting juga diketahui mengenai kedudukan dan fungsi daripada Mahkamah Konstitusi, karena berdasarkan itu dapat menjadi gambaran ke pembahasan berikutnya, adapun kedudukan dan fungsinya sebagai berikut:
Kedudukan Mahkamah Konstitusi:
- Sebagai lembaga negara
- Pelaku kekuasaan kehakiman
- Sejajar dengan lembaga negara lainnya
- Merdeka (Impartial)
Fungsi Mahkamah Konstitusi:
- Pengawal konstitusi (The guardian of the constitution)
- Penafsir final konstitusi (The final interpreter of the constitution)
- Pelindung hak asasi manusia (The protector of human rights)
- Pelindung hak konstitusional warga negara (The protector of the citizen’s Constitutional Rights)
- Pelindung demokrasi (The protector of democracy)
Dalam pendahuluan telah jelas maksud daripada tulisan ini, yakni membuktikan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji (judicial review) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat/Sementara. Pembuktian tentu harus berdasarkan landasan hukum/dasar hukum, logika, dan analisis kritis, yang semuanya diuraikan dalam bentuk argumentasi hukum.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat/Sementara yang bersifat regeling sisa delapan ketetapan dan kedelapan TAP MPR/S ini menjadi perdebatan dan kontroversi hingga saat ini, apalagi jika membahas mengenai judicial review-nya. Dikatakan menjadi perdebatan dan kontroversi karena kedelapan ketetapan tersebut memiliki pro dan kontra jika disetarakan dengan undang-undang. Namun terlepas dari kontra, maka argumentasi yang tepat untuk menyatakan kedelapan ketetapan tersebut setara dengan undang-undang adalah; Pertama, Majelis Permusyawaratan Rakyat berdasarkan  Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor I/MPR/2003 telah menurunkan status hukum ketetapan-ketetapan MPR warisan lama itu ke derajat yang memang setara dengan undang-undang[5], bukan dengan konstitusi. Kedua, sebagian besar isi norma yang terkandung di dalam kedelapan Ketetapan MPR/S berisi rekomendasi mengenai kebijakan-kebijakan yang sangat operasional teknis atau berisi nilai-nilai etika kehidupan berbangsa yang sangat abstrak. Ketiga, kedelapan produk hukum Ketetapan MPR/S sisa itu berisi norma-norma hukum yang setara dengan materi undang-undang. Karena itu, kedelapan produk hukum tersebut dapat dikatakan sebagai undang-undang dalam arti material (wet materiele zin).
Berdasarkan ketiga alasan di atas yang menyatakan TAP MPR/S setara dengan undang-undang maka tepat jika dikatakan Mahkamah Konstitusi berwenang menguji Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat/Sementara tersebut melalui mekanisme judicial review. Mengingat juga fungsi Mahkamah Konstitusi sebagaimana terurai di atas, yang mana dikatakan Mahkamah Konstitusi memiliki fungsi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution), penafsir final konstitusi (the final interpreter of the constitution), Pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights), pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the citizen’s constitutional rights), pelindung demokrasi (the protector of democracy). Dengan berdasarkan fungsi sebagai pengawal dan penafsir final konstitusi, maka bilamana Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat/Sementara tidak sesuai dengan konstitusi yang dikawal oleh Mahkamah Konstitusi seyogianya ketetapan tersebut dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi apabila dimohonkan oleh warga negara Indonesia yang memiliki legal standing. Demikian halnya bilamana ketetapan tersebut melanggar hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara, berdasarkan fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai pelindung hak asasi manusia dan pelindung hak konstitusional warga negara maka Mahkamah Konstitusi berwenang menguji (judicial review) ketetapan-ketetapan tersebut.
Landasan hukum argumentasi yang menguatkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji (judicial review) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat/Sementara, berangkat dari Pasal 24C Ayat 1 dan Ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menggariskan wewenang daripada Mahkamah Konstitusi sebagai berikut:
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dalam konsideran Menimbang:
a.    Bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan;
Konsideran Menimbang tersebut di atas dikaitkan dengan BAB I, Ketentuan Umum poin (3) Mahkamah Konstitusi adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, juncto poin (7) Hakim Konstitusi adalah hakim pada Mahkamah Konstitusi.
Kemudian dalam Pasal 10 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman ditegaskan:
“Pasal 10 (1) Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”[6]
Pasal 10 Ayat 1 di atas mengacu pada Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang mana substansinya sebagai berikut:
“Pasal 5 (1) Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”[7]
Berdasarkan logika hukum, Pasal 10 Ayat 1 juncto Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dapat menjadi landasan hukum pengujian (judicial review) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat/Sementara (TAP MPR/S) yang bersifat regeling. Dapat dilihat frasa yang berbunyi “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara...” dalam Pasal 10 Ayat 1 jelas frasa tersebut bersifat imperatif, dapat dilihat penegasannya dalam frasa berikut “...melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya” semakin memperjelas dengan adanya kewajiban tersebut maka Mahkamah Konstitusi berwenang dalam pengujian Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat/Sementara (TAP MPR/S) yang bersifat regeling. Lantas ada yang bertanya, bukankah Pasal 10 (1) juncto Pasal 5 (1) itu hanya ditujukan bagi Pengadilan Negeri/Umum, Pengadilan Agama, Pengadilan Militer, dan Pengadilan Tata Usaha Negara, di samping itu juga dalam Pasal 10 Ayat 1 tersebut ada kata perkara, tidakkah itu kurang tepat?
Pertanyaan itu menggunakan logika yang kurang tepat dengan menyempitkan makna, tentu yang dimaksud bukan hanya keempat lingkungan pengadilan tersebut di atas, untuk menjawab pertanyaan di atas dapat dilihat pada konsideran menimbang huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman jika dikaitkan pula dengan BAB I Ketentuan Umum poin 3 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, di sana dikatakan Mahkamah Konstitusi merupakan ‘pelaku kekuasaan kehakiman’ sama dengan keempat lingkungan pengadilan tersebut di atas (Pengadilan Negeri/Umum, Pengadilan Agama, Pengadilan Militer, dan Pengadilan Tata Usaha Negara), juga ditegaskan dalam Pasal 29 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, di sana dapat dilihat frasa sebagai berikut “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir...” yang mana di sana dijelaskan ‘mengadili pada tingkat pertama’ sehingga berimplikasi Mahkamah Konstitusi sama dengan keempat lingkungan peradilan tersebut, namun kata ‘terakhir’ menjadi pembeda di antara Mahkamah Konstitusi dengan lingkungan peradilan lainnya, yang mana kata terakhir hanya berlaku pada Mahkamah Konstitusi.
Dalam Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman juga ada frasa sebagai berikut “...Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat,” frasa tersebut di atas akan dibahas kata per kata. Kata menggali, secara filosofis berarti diperlukan usaha untuk menemukan (masih tersembunyi/belum tampak). Dapat dianalogikan hukum seperti ‘emas’ yang ada di dalam tanah, tentunya emas itu dapat diperoleh jika digali karena ada di dalam tanah, emasnya tidak tampak bukan berarti tidak ada sama sekali, namun harus ada upaya penggalian, setelah digali maka diproses (diolah)/dibentuk, kemudian dapat diperjualbelikan sebagai emas yang berharga. Demikian halnya hukum, seperti tertulis dalam Pasal 10 Ayat 1 tepatnya frasa berikut “...bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,” frasa tersebut tentu tidak boleh menjadi alasan menolak oleh hakim, melainkan harus ada upaya untuk menemukan dan memperjelas, untuk menemukan dan jelas hukumnya maka Hakim Konstitusi wajib menggali dan menemukan hukumnya di tengah masyarakat. Kata mengikuti, itu berarti tidak berhenti pada kata menggali, namun harus ada keberlanjutan. Jika diibaratkan ‘analogi emas’ di atas maka kata ‘mengikuti’ sama dengan ‘diproses/dibentuk.’ Tentunya kedua langkah (menggali dan mengikuti) harus berdasarkan nilai-nilai hukum dan keadilan yang ada dan hidup di dalam masyarakat.
Pada Pasal 29 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman juga ditegaskan:
“Pasal 29 (1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a.  Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.  Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c.   Memutus pembubaran partai politik;
d.  Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan
e.  Kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang.”
Jika diinterpretasikan Pasal 29 (1) poin a maka bermakna undang-undang sebagai batas terrendah yang dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi, itu berarti peraturan menteri, peraturan daerah, dan lain sebagainya yang di bawah undang-undang tidak dapat diuji.
Kemudian dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi wewenang Mahkamah Konstitusi diatur secara khusus, yakni sebagai berikut:[8]
(1)  Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a.    Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.    Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c.    Memutus pembubaran partai politik; dan
d.    Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2)  Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Demikian pula halnya penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai berikut:
“...Sejalan dengan prinsip ketatanegaraan di atas maka salah satu substansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi.”[9]
Penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi di atas ada frasa yang berbunyi ”...dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi,” yang mana frasa tersebut menegaskan Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab, sehingga logikanya segala hal yang mengganggu dan tidak sesuai dengan konstitusi  harus diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi, namun harus diperhatikan, batas terrendah yang dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi adalah undang-undang, di bawah undang-undang bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi tetapi kewenangan daripada Mahkamah Agung.
Kemudian dalam penjelasan tersebut di atas juga ada frasa “...untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil,” frasa tersebut semakin menguatkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji (judicial review) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat/Sementara bilamana Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat/Sementara tersebut melanggar hak konstitusional warga negara yang mana terjadi chaos dalam negara, Mahkamah Konstitusi seyogianya menguji ketetapan tersebut demi kestabilan dalam penyelengggaraan pemerintahan.
Berdasarkan uraian di atas telah terang bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji (judicial review) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat/Sementara yang bersifat regeling, saat ini di Indonesia ada delapan ketetapan yang bersifat regeling.









PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan analisis kritis maka dapat disimpulkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji (judicial review) kedelapan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat/Sementara (yang bersifat mengatur umum/regeling). Adapun yang menjadi dasar ialah penyetaraan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat/Sementara dengan undang-undang (vide: Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor I/MPR/2003). Landasan hukum yang menyatakan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat/Sementara adalah Pasal 24C Ayat 1 dan 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Pasal 10 (1) juncto Pasal 5 (1)  juncto Pasal 29 (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 10 beserta penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
Saran
Akademisi
Diharapkan akademisi dapat menggali mengenai judicial review terhadap Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang bersifat mengatur umum (regeling).
Masyarakat Umum
Diharapkan tidak menyempitkan makna daripada substansi peraturan perundang-undangan tersebut di atas, sehingga semua warga negara Indonesia dapat mempertahankan hak konstitusionalnya.





DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly.2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (jilid I). Jakarta:
_____Konstitusi Press
Asshiddiqie, Jimly. 2010. Perihal Undang-Undang. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Siahaan, Maruarar. 2011.  Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
_____(edisi 2). Jakarta: Sinar Grafika
Tutik, Titik Triwulan. 2010.  Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
_____Amendemen UUD 1945. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Sinaga, Budiman N.P.D. 2004. Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan. Yogyakarta:
_____UII Press
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi








DAFTAR RIWAYAT HIDUP
(CURRICULUM VITAE)


Nama                               : Viswandro
Agama                             : K. Protestan
Suku                                : Batak Toba
Pekerjaan                         : Mahasiswa Hukum Universitas Mulawarman
Alamat (sementara)            : Jl. Perjuangan 7, Samarinda
Nomor Seluler                    : 0813 4773 4003
Hobi                                : Membaca, Analisis, dan Jalan-jalan (traveling)
Motto                              : Pikiran, kata-kata, dan tindakan menentukan siapa
   saya.
Tokoh Inspirasi                  : Jesus Christ, Mahatma Gandhi, Si Singamangaraja
  XII, dan Soekarno
Pendidikan                        :
1.    SD N 025 Ds. Sei Kuti, Kec. Kunto Darussalam, Kab. Rokan Hulu, Prov. Riau
2.    SMP Sw. Eka Prasetya, Medan
3.    SMA Sw. Eka Prasetya, Medan
4.    S1 (S.H.c) Universitas Mulawarman
Organisasi                         :
1.    LKBH FH Unmul
2.    LKISH FH Unmul
3.    FKSH




[1] Titik Triwulan Tutik, 2010, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amendemen UUD 1945, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 221
[2] Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, Konstitusi Press, Jakarta
[3] Cetak Biru, 2004, Membangun Mahkamah Konstitusi, sebagai Institusi Peradilan Konstitusi yang Modern dan Terpercaya, Sekretariat Jenderal MKRI, hlm. iv
[4] Maruarar Siahaan, 2011, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia edisi 2, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 59
[5] TAP MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002
[6] Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
[7] Ibid
[8] Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
[9] Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar