Sabtu, 25 Januari 2014

CIRI-CIRI BERPIKIR FILSAFAT

Berfilsafat adalah kegiatan berpikir dengan ciri:

Kritis (senantiasa mempertanyakan sesuatu)

Radikal (mendalam)

Konseptual, generalisasi dan abstaraksi Koheren (runtut dan konsisten)

Rasional (sesuai dengan nalar)

Komperhensif (menyeluruh)

Universal (berlaku dimana pun)

Spekulatif (kebenarannya bersifat dugaan)

Sistematis (ada hubungan antara unsur)

Bebas (tidak terkekang)

KEBUDAYAAN BATAK TOBA DALAM PERNIKAHAN


Menurut pandangan orang Batak Toba, kebudayaannya memiliki sistem nilai budaya yang amat penting,yang menjadi tujuan dan pandangan hidup mereka secara turun-temurun yakni kekayaan (hamoraon) , banyak keturunan (hagabeon), dan kehormatan (hasangapon). Yang dimaksud kekayaan ialah harta milik berujud materi maupun non-materi yang diperoleh melalui usaha atau melalui warisan. Keturunan juga termasuk ke dalam kategori kekayaan. Banyak keturunan ialah mempunyai banyak anak,cucu,cicit,dan keturunan-keturunannya,termasuk pemilikan tanaman serta ternak. Kehormatan merupakan pengakuan dan penghormatan orang lain atas wibawa dan martabat seseorang.
Batak Toba adalah salah satu sub suku Batak yang memiliki kebudayaan yang unik dan khas di antara suku batak yang lain. Sistem kepemimpinan sosial, yakni harajoan mih mereka jaga hingga sekarang. Realitas ini menunjukkan bahwa kebudayaan batak toba masih di jadikan panduan hidup masyarakatnya. Dalam konteks untuk tetap menjaga kearifan local, kebudayaan batak toba penting untuk dikaji dan di dokumentasikan.
Tanda kebesaran kebudayaan orang batak toba paling penting adalah pernah diberlakukannya berbagai hukum adat. Berdasarkan hukum adat kehidupan sosial orang batak toba diatur dalam sebuah bingkai kebudayaan tradisi. Dengan begitu, kebudayaan batak toba akan terus ada dan tidak punah di telan zaman. Beberapa hukum adat ini, hingga kini masih berlaku,akan tetapi beberapa sudah tidak di berlakukan dengan baik dikarenakan ketidaksiapan pemiliknya (orang batak toba) maupun akibat campur tangan penguasa.
Hukum adat yang berlaku di masyarakat batak toba antara lain hukum adat perkawinan, yakni yang berkaitan dengan ketentuan perkawinan,pertunangan, maskawin, hingga perceraian. Hukum adat warisan,hukum adat pemilikan tanah,hukum adat utang-piutang,hukum adat pelanggaran dan hukum dalam menyelesaikan perselisihan di masyarakat.
Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara hukum agama, hukum negara, dan hukum adat. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi anatar bangsa, suku satu dan yang lain pada satu bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial. Penggunaan adat atau aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu pula. Pernikahan juga suatu hal yang sakral dan penting dalam kehidupan dua insan yang bertukar ikrar, termasuk keluarga mereka yang akan menyatu melalui kedua mempelai. Saat memutuskan untuk mengarungi kehidupan pernikahan, umumnya, kedua orangtua mempelai akan menyematkan harap untuk kedua mempelai. Setiap suku memiliki adat dan kebiasaan masing-masing. Tak terkecuali dalam adat Batak. Dalam pernikahan adat Batak, ada banyak tata aturan dan simbol. Dalam simbol-simbol tersebut, tersemat harap dan doa dari keluarga, kerabat, dan handai taulan.
Sistem perkawinan adalah eksogami yang tidak simetris. Perkawinan harus dengan marga lain dan tidak boleh bertukar langsung di antara dua keluarga yang berbeda marga. Dengan kata lain sistem lingkaran. Dalam hal jumlah istri,prinsip masa kini adalah monogami. Pada zaman Batak Toba dahulu prinsip yang dianut ialah poligami. Karenanya, parbalga tubu (keluarga besar) merupakan kehormatan dan kuasa. Itulah sebabnya banyak isteri merupakan persyaratan untukmemenuhi keinginan tersebut. Akan tetapi, adat melarang untuk mengambil adik kandung istri menjadi istri kedua atau kedua atau ketiga. Demikian juga dua orang laki-laki bersaudara kandung dilarang mengambil isrti dua orang perempuan kakak-beradik.
Dewasa ini prinsip perkawinan yang dianut sudah berubah dari sistem poligami menjadi monogami. Agama Kristen mendorong orang untuk meninggalkan kebiasaan nenek moyang lewat larangannya yang keras. Anggota yang melanggar akan dilakukan dari keanggotaan dan diumumkan secara terbuka.
Namun pada dasarnya pernikahan di dalam kebudayaan batak pernikahan yang idealbagi orang Batak Toba ialah antara seorang pemuda dengan putri saudara laki-laki ibunya(pisalai,mabrdo). Sistem ini dinamakan marboru ni tulang atau kawin “Pariban”. Demikian juga bila seorang pemudi kawin dengan putra saudara perempuan ayah (pasapea,fasiso) atau maranak ni namboru,disebut juga kawin “ Pariban”.
Pariban sebenarnya menjodohkan seorang anak laki-laki dan perempuan pada waktu di dalam kandungan tetapi sekarang kebanyakan orang batak sudah tidak menjodohkan anak seperti itu,melainkan ketika anak mereka sudah dewasa,para orang tua batak menjodohkan anak mereka pada keluarga mereka sendiri. Sebenarnya maksud orang batak menjodohkan anak mereka hanya untuk menjaga keutuhan harta keturunan mereka,agar harta yang mereka miliki jatuh kepada saudaranya sendiri bukan pada orang lain.
Contoh pariban : seperti si A mempunyai anak C dan kakak kandung perempuan si B punya anak si D.mereka sudah mempunyai anak masing-masing. Ketika anak mereka besar dan tumbuh menjadi seorang anak yang dewasa,kedua kakak beradik si A dan si B ini menjodohkan anaknya si C dan D itu,akan tetapi sebenarnya budaya pariban itu dulu menjodohkannya ketika si C atau si D di dalam kandungan dan salah satu orang tua berkata bahwa ”ketika anak itu lahir,dia akan ku jadian menantu” ini lah yang di sebut Pariban pada kebudayaan batak dulu. Tetapi pada zaman ini orang batak menjodohkan anaknya ketika anak itu sendiri sudah dewasa.
Pada umumnya tradisi Pariban ini sudah banyak ditinggalkan pada orang batak yang hanya mengetahui batak hanya sepintas, tetapi orang batak asli masih melestarikan tradisi atau adat istiadat mereka dari nenek moyang agar anak cucuknya mengetahui sejarah kebudayaan daerahnya ataupun adat istiadat yang selama ini diterapkan oleh nenek moyangnya dulu. Numun,sistem perkawinan semacam itu sudah tidak begitu diminati lagi. Perkawinan yang lebih bebas dengan marga lain yang tidak ada hubungan darah bahkan dengan etnis lain justru lebih digemari. Namun,demikian,belum pernah dikaji secara ilmiah seberapa jauh sistem perkawinan pariban sudah ditinggalkan.
Sebaliknya, kawin dengan putri dari saudara perempuan ayah (pisapaa, fasido) atau boru ni namboru merupakan hal terlarang. Larangan ini sesuai dengan struktur sosial dalihan na tolu bahwa bahwa hanya boru yang boleh mengambil istri dari kelompok hulahula. Pelanggaran atas larangan ini akan dihukum berat (pengusiran dari desa, tidak diakui sebagai anggota marga dan dilarang mengikutiupacara adat). Orang Batak Toba memperkuat hukum adat ini dengan ungkapan: “dang tarpaulak aek tu julu” atau tidak dapat dilalirkan kembali ke hulu. Dalam persoalan ini hulahula(keluarga mempelai perempuan) adalah sumber asal boru. Oleh karena itu, tidak mungkin proses itu diputar balik. Atrinya, boru menjadi sumber keturunan (secara simbolik adalah pohon kehidupan) bagi hulahula. Secara ideologis hulahula merupakan personifikasi dewata Batara Guru dan banua ginjang(dunia atas), sedangkan boru adalah personifikasi dewata Balabulan dan banua toru (dunia bawah). Itulah sebabnya kedudukan yang tinggi dari hulahula tidak dapat dijungkirbalikkan, sama seperti menukarkan kedudukan dewata Batara Guru dengan Balabulan. Secara realigi hal ini tidak diperbolehkan dan tidak dimungkinkan. Karena itu adat yang menjadi bagian dan kepercayaan keagamaan harus mematuhinya. Adat sebagai refleksi mikroskomik harus menuruti aturan makrokosmik,yaitu dewata Mulajadi Na Balon ( dewata tertinggi) dan banua ginjang atau dunia atas. Jadi, mengawini putrid dari saudara perempuan ayah berarti melanggar adat dan kepercayaan serta melawan keberadaan dewata.
Dilihat dari sudut pelaksanaan upacara perkawinan yang melibatkan banyak pihak, maka prinsip pertanggungjawaban adalah milik kelompok sosial. Setiap unsur pendukung struktur dan sistem sosial dalihan na tolu terlibat secara langsung dengan bertanggung jawab sesuai kedudukan sosial adatnya. Dengan demikian yang berkepentingan tidak hanya kedua pengantin atau kedua pihak orangtua dan kerabat dekat,namun juga setiap unsur dalihan na tolu dari kedua kelompok sosial tersebut. Keterlibatan semua unsur dalihan na tolu terwujud dalam tanggungjawab masing-masing kepada pengantin, kedua orangtua pengantin,serta tiap-tiap unsur dalihan na tolu dari kedua kelompok yang berhadapan secara langsung.
Adat membicarakan,tuhor dan sinamot seolah-olah merupakan proses tawar-menawar tuhor tuhor (harga) seorang gadis. Bahkan batalnya suatu rencana perkawinan tidak selalu datang dari orangtua dan saudara kandung gadis, tetapi juga dari kerabat dekat lainnya,termasuk dari tulang saudara laki-laki ibu. Faktor penyebabnya jika upat tulang (bagian dari maskawin yang menjadi hak tulang) tidak sesuai dengan permintaannya. Namun belakangan, ini hal seperti itu sudah sangat jarang terjadi.
Penyebab pembatalan perkawinan belakangan ini ialah bila di antara gadis atau pemuda masih ada ikatan janji dengan orang lain dan belum diputuskan sehingga datang gugatan salah satu pihak. Di samping itu, juga jika nama gadis tercemar,atau calon pengantin laki-laki diisukan sudah kawin dengan boru sileban (perempuan suku lain di perantauan) tanpa sepengetahuan orangtuanya.
Pada zaman orang Batak Toba dahulu, pembatalan perkawinan dengan alasan apa pun dapat mengakibatkan konflik yang serius bahkan bisa menimbulkan peerangan antarmarga dan antardesa,karena hal itu dianggap merendahkan derajat dan nama baik salah satu kelompok masyarakat atau desa.
Ada beberapa jenis perkawinan yang dikenal selama ini yaitu, kawin dialap jual (kawin dijual-jemput), yakni perkawinan adat dengan cara menjemput pengantin perempuan ke rumah orangtuanya karena pesta adat sepenuhnya dilakukan di rumah perempuan. Jenis perkawinan kedua adalah ditaruhon jual (kawin dijual-antar), pengantin perempuan diantar ke rumah laki-laki karena pesta dilakukan di rumah laki-laki. Jenis ketiga ialah mangaula (kawin lari), yakni perkawinan yang dilakukan tanpa persetujuan salah satu kedua keluarga. Laki-laki membawa pasangannya ke rumah saudaranya lalu diadakan upacara adat parajahon. Pemberitahuan dilakukan dengan mengutus beberapa orang boru dengan membawa upa suhut ( bagian ekor utuh seekor babi/kerbau) sebagai pertanda upacara merajakan gadis telah dilakukan. Dahulu perkawinan jenis ini selalu mengundang permusuhan dan peperangan. Belakangan ini perkawinan demikian sudah sepengetahuan keluarga perempuan. Keretakan di antara kerabat perempuan, kekerangmampuan ekonomi, dan faktor kakak gadis bersaudara yang belum kawin,mejadi alasan diizinkannya perkawinan lain. Jenis-jenis perkawinan perkawinwan tersebut masih berlaku.
Selain itu, ada jenis lain yang dahulu dikenal namun sudah ditinggalkan orang, misalnya kawin mangabing atau perkawinan dengan cara menculik. Kawin malturun atau gadis mendapatkan pujaannyadan mengajaknya kawintanpa persetujuan orangtuanya. Jenis ini kadang-kadang disebut juga mahuempe yang artinya merendahkan martabatnya sendiri.
Ada pula perkawinan yang dilakukan di antara orang yang pernah kawin. Perkawinan ini di sebut pareakhon atau ganti tikar,yaitu perkawinan seorang janda dengan saudara laki-laki mendiang suaminya. Perkawian jenis ini dimaksudkan agar ada yang mempertanggungjawabkan anak-anak almarhum, atau bila janda itu sedang hamil sewaktu ditinggal suaminya, sehingga akan ada yang menjadi ayah si bayi.
Sistem perkawinan yang lazim dewasa ini ialah perkawinan terbuka. Artinya, orang sudah bebas memilih calon istri maupun suami. Memang masih ada orangtua yang menginginkan perkawinan eksogami terbatas, artinya masih menginginkan perkawinan ideal, yakni kawin pariban (pisalai atau pasapea). Akan tetapi atau pada akhirnya putusan terakhir diberikan kepada orang muda yang akan memilih calon. Pesta perkawinan dilakukan masih seperti dulu. Artinya, kelompok yang terlibat tetap terdiri atas tiga struktur sosial dalihan na tolu yakni hulahula,dongan tubu dan boru. Ketiga unsur itu mempunyai hak dan tanggung jawab seperti dahulu. Ada sedikit perubahan di mana ketiga unsur dalihan na tolu tidak lagi memiliki hak menggagalkan perkawinan. Kalau dipaksakan, maka akan terjdi perpecahan keluarga. Dengan demikian,kekuasaan tertinggi sudah berada di tangan orangtua pengantin, tidak lagi di tangan kelompok komunal kerabat dekat.
Tempat pesta pensahan perkawinan di desa selalu dilihat dari sistem perkawinan yang dilakukan, apakah sistem dialap jual atau diaruhon jual. Bila di jemput-jual maka pesta diselenggarakan di halaman rumah pengantin perempuan, dan bila diantar-jual maka pesta dilakukan di halaman rumah pengantin laki-laki. Di kota-kota besar umum yang disewa. Namun gedung tersebut masih dilambangkan sebagai rumah pengantin putri, bila perkawinan itu memakai cara dijemput-jual. Sebaliknya, gedung dilambangkan sebagai rumah pengantin laki-laki bila perkawinan itu memakai sistem diantar-jual.
Perkawinan adat batak mewarisi budaya nenek moyang yang sangat kaya dengan ritual suci, mempelai pria dan wanita disandingkan menjadi pasangan suami istri setelah melewati beberapa rangkaian upacara adat. pernikahan atau perkawinan adat batak di kenal sangat melelahkan, karena begitu banyaknya upacara, maka di abad moderen ini upacara dan prosesei pernikahan adat batak agak lebih fleksibel, pengurangan dilakukan tanpa menghilangkan makna perkawinan.
Dalam prosesi perkawinan Batak diusahakan untuk memperlihatkan simbol yang disajikan secara artistik dengan perpaduan unsur seni gorga Batak, seni tenun Ulos Batak, seni vokal, seni gerak tari, dan perangkat-perangkat perkawinan Batak.
Tandok boras sipirnitondi merupakan simbol yang dibawa oleh pihak hula-hula (keluarga mempelai perempuan) dalam sistem kekerabatan Dalihan Natolu Batak. Golongan hula-hula adalah golongan yang diberi kedudukan terhormat, saluran berkat kepada keluarga Boru (mempelai laki-laki). Golongan yang lain dalam Dalihan Natolu adalah Dongan Sabutuha dan Boru. Boras sipirnitondi artinya adalah beras restu. Biasanya dibawa oleh penari, ditaruh di atas kepala dalam sebuah wadah dari rajutan jerami.
Pinggan pasu panungkunan adalah Piring adat untuk memulai pembicaraan adat perkawinan Batak yang disampaikan juru bicara keluarga mempelai wanita, berisi beras, sirih, dan uang 4 lembaran.
Tata cara upacara masih tetap sama, yakni orangtua pengantin laki-laki atau perempuan bersama kerabat dekat, sesuai dengan sistem perkawianan, menerima kehadiran semua kelompok hulahula,dengan tubu dan boru depan rumah tempat pesta. Kemudian diselenggarakan upacara makan setelah kedua belah pihak pengantin lakia,-laki menyampaikan bagian utama lauk (kerbau,sapi,babi,kambing) yang dinamakan tudu-tudu ni sipanganon, serta pihak pengantin perempuan menyampaikan ikan mas atau ikan Batak di atas piring besar yang dinamakan dengke simudur-mudur,dengke na labangon. Setelah berdoa sesuai agama dan kepercayaannya,makan bersama dilakukan. Pesta perkawinan selalu dihadiri oleh ratusan orang,bahkan sering mencapai ribuan orang, tergantung pada tingkat kekayaan, pangkat, jabatan, dan jumlah kerabat dekat orang yang berhajat.
Pembagian jambar,kemudian dilakukan oleh kedua kelompok pengantin setelah pembagian tubuh hewan sembelihan secara adat dan musyawarah. Setelah itu pihak pengantin laki-laki membayar hutang,yakni mahar atau maskawin yang belum dilunasi kepada orang tua dan kerabat pengantin perempuan. Jumlah maskawin yang diserahkan adalah sesuai dengan keputusan rembungan (tawar-menawar) yang dilakukan jauh sebelum upacara perkawinan, pada upacara marhata sinamot. Selesai pembagian jambar, hulahula menyampaikan selimut adat yang bernilai tinggi religi (ulos) kepada orangtua pengantin laki-laki yang dinamakan ulos pansamot, kepada saudara laki-laki dan perempuan ayah, kerabat dekat lainnya dan kedua mempelai. Pesta adat perkawinan ditutup dengan membagikan sejumlah uang kepada hadirin yang dinamakan ulos-ulos, symbol selimut yang diterima dari hulahula dan tuhor ni boru, maskawin perempuan yang diberikan oleh orangtua pengantin perempuan kepada para undanganya. Arti terdalam pemberian itu bahwa semua undangan adalah pemilik putrinya,dan maskawin adalah milik semua kerabat undangan serta sebagai pemberitahuan bahwa putrinya sudah dibeli orang lain. Itu sebabnya uang pembelian tersebut harus dinikmati oleh semua orang yang diundang.
Sistem adat perkawinan demilian masih dilakukan dan diikuti sampai kini baik di desa asal, di daerah perantauan maupun di kota-kota. Berbagai perubahan praksis telah terjadi tetapi esensinya tetap dipertahankan.
________Prof.soedjito sosrodihardjo,S.H., M.A., 2009,100

ADAT BATAK PADA PERNIKAHAN

“ jolo sinungkun ma marga asa binoto partuturon”. so,please tell me who you are.

Namun karena Adat Batak adalah bidang yang selalu saya tempatkan pada posisi kekerabatan yang penuh kasih maka saya akan mencoba memberikan masukan tentang hal yang terkait dengan Adat Batak, dengan terlebih dahulu mengatakan: “ Adat Batak tidak dipelajari secara literature dan tidak pula dikuliahkan di perguruna tinggi, tetapi diajarkan dalam tatanan Adat itu sendiri melalui partisipasi aktif dalam melaksanakannya”.

Inilah penjelasannya:

Manakah lebih tinggi nilainya, Pemberkatan Nikah atau Adat Istiadat?

Jawaban: Pemberkatan Nikah jauh melebihi nilai pernikahan Adat, tetapi makna dan intisarinya berbeda. Pernikahan melalui pemberkatan adalah janji antara kedua pasangan dengan Tuhan, dan pernikahan Adat adalah janji pasangan kepada dua pihak utama di bumi, yaitu:

Ø Marga suami, dan

Ø Marga isteri.

Pernikahan Adat sebagai jaminan kelanggengan rumah tangga Batak, karena pemberian sinamot dan ulos adalah doa dari para saksi tentang pengukuhan pernikahan dan mereka wajib untuk ikut memelihara kelangsungan serta kerukunan rumah tanga baru.

Ini lebih membumi, dibandingkan dengan pernikahan Gereja yang padat kekudusan dalam keimanan maka setiap pasangan harus memegang dua-duanya agar kesempurnaan pernikahan terlaksana menurut duniawi juga menurut surgawi.

Janji nikah yang mengantarkan pasangan pada ikatan pernikahan suami isteri yang tidak boleh diceraikan siapapun kecuali cerai mati, maka Adat lebih menekankan makna duniawi dari penikahan itu, sehingga disebutkan: Tubuan laklak tubuan sikkoru di rura Purbatua, tubuan anak ma hamu tubuan boru donganmuna sarimatua.

Berapakah minimal biaya standard yang harus dikeluarkan pihak pengantin (katakanlah Paranak), agar pesta dianggap sangap?

Biaya pernikahan yang harus dkeluarkan oleh pihak penganten pria adalah sejumlah :

v Sinamot yang disepakatiu pada sa’at marhusip dan marhata sinamot

v Biaya makan minum di kala marhusip

v Biaya makan minum di kala martuppol dan marria raja atau martonggo raja

v Biaya lain-lain yang jumlahnya tidak akan pernah standard.


Acuannya adalah :

ü Seberapa besarkah perhelatan yang akan dilaksanakan, karena pernikahan Adat cukup menghadirkan minimal:

o Suhut parboru dengan suhi ni ampang na opat dan sihal-sihal

o Suhut paranak dengan suhi ni ampang na opat serta sihal-sihal.

ü Seberapa besarkah sinamot yang diminta oleh pihak parboru dan disetujui oleh pihak paranak

ü Apa saja yang akan diselenggarakan sebelum, pada sa’at dan sesudah pernikahan itu.

ü Lebih utama lagi, seberapa besarkah dana pernikahan yang disediakan. Karena pada prinsipnya, melaksanakan Adat Batak – tidak boleh melebihi kemampuan, tidak boleh meminjam ke bank untuk keperluan biaya pelaksanaan Adat Batak. Nilai rupiahnya silahkan menghitung sendiri.

Bagaimanakah pesta adat yang dapat dikategorikan sangap?

Pesta Adat yang dinyatakan sangap adalah pesta yang memberikan sejahtera bagi semua pihak, utamanya suhut paranak dan parboru serta para undangan terhormat.

Apakah nama jambar-jambar yang harus dipersiapkan pada saat pesta adat?

Sudah menjadi kesepakatan tidak tertulis (sebagaimana adat itu awalnya juga tidak tertulis) bahwa parjambaran adalah menurut kebiasaan di mana pesta adat dilaksanakan, sidapot solup do na ro. Akan halnya dengan nama-nama dan pembagiannya sesungguhnya sudah banyak dituliskan di dalam berbagai buku adat Batak, dan saya menuliskannya di dalam dokumen terlampir.

Adapun nomor 1 hingga 5 dibawah ini:

1. Tahap pelaksanaan pernikahan- umumnya:

· Berkenalan atau pacaran

· Melapor kepada orang tua

· Rembukan orangtua kedua belah pihak (marhori-hori dingding)

· Patua hata

· Marhusip

· Martuppol

· Pamasu-masuoan pardongan saripeon

· Pelaksanaan adat Batak.

2. Yang harus dibicarakan pada saat "marhata sinamot"; semua hal yang bertalian dengan hak dan kewajiban kedua belah pihak paranak dan parboru, serta tahapan keterlibatan gereja dalam meengesahkan pernikahan menurut gereja.

3. Yang harus diperbuat pada saat "Ikatan Pranikah/ Martumpol"

Kedua calon yang akan menikah mengucapkan janjinya di depan warga dan pengurus serta pendeta gereja, bahwa adalah keputusannya sendiri untuk memilih calonnya sebagai pasangan hidupnya, dan akan ikhlas dan tulus menindaklanjutinya, bahkan harus tuntas dengan hubungan dengan siapapun.

Hal itu disaksikan para warga gereja, dan diwartakanm di dalam warta gereja, kalau-kalau ada pihak tertentu yang masih terikat janji dengan salah satu yang berjanji tersebut.

4. Yang harus diperbuat dan dipersiapkan pada saat "Pamasu-masuon". Menuntaskan janji partuppolon, menghadap altar gereja dengan merealisasikan janji melalui pemberkatan oleh pendeta atau petugas gereja, sebagai ikatan dan janji kudus .

5. Yang harus diperbuat dan dipersiapkan pada saat "Pesta Adat", menuntaskan janji nikah di depan para warga Adat, sehingga semua warga adayt terlibat untuk mendoakan janji kudus tersebut, dan lebih lagi keterligatan mereka dalam menjaga keutuhan pasangan baru tersebut, karena faktanya sejak awal: pernikahan adat adalah pernikahan marga-marga.

Satu hal yang harus diperhatikan, belajar Adat adalah seumur hidup, karena dinamika kehidupan modern pasti memberikan kontribusi pada pelaksanaan adat, karena manusia Adat akan mengadopsi modernisasi dalam kehidupannya sehingga berdampak pada pelaksanaan adat itu sendiri.

Semoga bermanfaat. Camkanlah, belum pernah saya melihat pelaku adat Batak yang merana hidupnya, karena dia berbuat sesama umat manusia dan itu adalah salah satu misi Kristiani.

Syalom.

John B Pasaribu.

KEKRISTENAN & SI SINGAMANGARAJA XII (MALIM) [by Uli Kozok]

Utusan Damai di Kemelut Perang

Prakata
Ludwig Ingwer Nommensen adalah seorang tokoh yang oleh sebagian orang Batak tidak hanya dihormati atas jasanya menyebarkan agama Kristen di Tanah Batak, tetapi bahkan dianggap sebagai rasul atau apostel Batak.
Sumbangan Nommensen dan tokoh-tokoh injil lainnya – yang namanya jarang disebut – berdampak luas pada masyarakat Batak, bukan saja di bidang kerohanian, tetapi juga di bidang pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.
Tokoh penginjilan dari Rheinische Missions-Gesellschaft (RMG), lembaga penginjilan asal Jerman, ini hidup di antara orang Batak selama lebih dari 50 tahun. Tentu dapat dipahami bahwa orang Batak yang beragama Kristen Protestan mengenang Nommensen dengan rasa kagum dan bangga.
Namun Nommensen sesungguhnya hanya salah satu dari banyak penginjil RMG yang ditugaskan untuk menyebarkan injil di Tanah Batak. Dia bukan pemrakarsa zending Batak dan otoritasnya terbatas. Disiplin dan kepatuhan terhadap atasan sangat diutamakan dalam kalangan RMG. Sebagai pelaksana, para penginjil diwajibkan untuk setiap bulan menulis laporan. Laporan-laporan itu kemudian diolah dan diterbitkan dalam sebuah majalah yang dinamakan Berichte der Rheinische Missions-Gesellschaft, disingkat BRMG. Secara total ada sekitar 10.000 halaman yang ditulis oleh para penginjil RMG di Tanah Batak tentang segala hal yang terjadi di wilayah penginjilannya. Dengan demikian BRMG merupakan sumber historis yang teramat penting.
Salah satu peristiwa penting dalam sejarah Batak adalah Perang Toba yang terjadi pada tahun 1878 dan 1883 sebagai inti perlawanan Si Singamangaraja XII terhadap kekuasaan Belanda. Di dalam buku yang sederhana ini kami sajikan laporan-laporan para zendeling tentang Perang Toba Pertama. Laporan para penginjil itu kami sajikan dalam bentuk edisi faksimile agar secara mudah teks asli yang berbahasa Jerman dapat dibandingkan dengan terjemahan bahasa Indonesia, dan untuk menjaga keakuratan terjemahannya.
Makalah ini mengungkap catatan perjalanan para penginjil selama masa Perang Toba, dan tidak bermaksud untuk mencari kontroversi melainkan untuk memberi sumbangan terhadap sejarah Batak di awal zaman penjajahan. Tokoh I.L. Nommensen dan tokoh penginjilan Batak lainnya berbicara sendiri dan dipandang dalam konteks sejarah sebagai anak zaman dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Hal tersebut, menurut hemat saya, perlu agar tidak terjadi pembentukan mitos dan legenda yang berkaitan dengan tokoh sejarah ini. Sesuai dengan perkembangan zaman penilaian terhadap tokoh-tokoh sejarah bisa saja terjadi, dan hal tersebut adalah sesuatu yang lumrah. Saya menyadari bahwa makalah saya yang sederhana ini oleh sebagian orang dianggap “kontroversial”. Sesungguhnya makalah ini hanya menjadi “kontroversial” karena selama ini penulisan sejarah penginjilan di Tanah Batak didominasi oleh para penulis yang dekat dengan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) sebagai penerus RMG. Sayang penulisan sejarah seperti itu sangat sepihak dan tanpa adanya upaya untuk secara kritis mengevaluasi tokoh-tokoh penginjilan serta motivasi lembaga penginjilan yang berdiri di belakangnya.

Medan, 23 Juni 2009, Dr. Uli Kozok

Pendahuluan
“Mereka mengatakan secara blak-blakan bahwa kami pelopor pemerintah kolonial yang awalnya berbuat amal dengan cara memberi obat dsb. untuk akhirnya menyerahkan tanah dan rakyat kepada pemerintah.” [1]
Demikian keluhan I.L. Nommensen ketika baru membuka pos zending di lembah Sipirok. Dugaan orang Sipirok ternyata benar. Tidak lama sesudah pindah ke lembah Silindung, tepatnya pada awal tahun 1878, Nommensen berulang kali meminta kepada pemerintah kolonial agar selekasnya menaklukkan Silindung menjadi bagian dari wilayah Hindia-Belanda.
Pemerintah Belanda akhirnya mengabulkan permintaan Nommensen sehingga terbentuk koalisi injil dan pedang yang sangat sukses karena kedua belah pihak memiliki musuh yang sama: Singamangaraja XII yang oleh zending dicap sebagai “musuh bebuyutan pemerintah Belanda dan zending Kristen.”[2] Bersama-sama mereka berangkat untuk mematahkan perjuangan Singamangaraja. Pihak pemerintah dibekali dengan persenjataan, organisasi, dan ilmu pengetahuan peperangan modern sementara pihak zending dibekali dengan pengetahuan adat-istiadat dan bahasa. Kedua belah pihak, zending Batak dan pemerintah kolonial, saling membutuhkan dan saling melengkapi, dan tujuan mereka pun pada hakikatnya sama: Memastikan agar orang Batak “terbuka pada pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa”.[3]
Berkat pengetahuan bahasa dan budaya pihak zending (terutama zendeling[4] Nommensen dan Simoneit) berhasil meyakinkan ratusan raja agar berhenti mengadakan perlawanan dan menyerah pada kekuasaan Belanda. Yang tidak mau menyerah didenda dan kampungnya dibakar.
Melalui Gubernur Sumatra pemerintah Belanda membalas budi para penginjil dengan mengeluarkan surat penghargaan yang resmi:
Pemerintah mengucapkan terima kasih kepada penginjil Rheinische Missions-Gesellschaft di Barmen, terutama Bapak I. Nommensen dan Bapak A. Simoneit yang bertempat tinggal di Silindung, atas jasa yang telah diberikan selama ekspedisi melawan Toba. [5]
Selain surat penghargaan, para misionaris juga memperoleh 1000 Gulden dari pemerintah yang “dapat diambil setiap saat”.
Kerjasama antara para penginjil RMG (Rheinische Missionsgesellschaft) dan pemerintahan kolonial berlangsung sampai musuh mereka, Singamangharaja XII, tewas dalam pertempuran dengan tentara Belanda pada tahun 1907.
Walaupun peran Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) dan penginjilnya, terutama Ludwig Ingwer Nommensen, dalam Perang Toba Pertama [6] (1878) terang sekali, ada pihak yang melihat adanya ‘kontroversi’. Ada dua isu yang sering menjadi topik perdebatan yang kontroversial, terutama di kalangan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang merupakan penerus RMG di zaman kemerdekaan: 1. Peran para penginjil dalam menaklukkan Onafhankelijke Bataklanden (Tanah Batak yang Merdeka) dan 2. Hubungan Singamangaraja XII dengan Zending.
Butir kedua menjadi persoalan yang memang peka karena sebagian besar orang Batak memeluk agama Kristen dan menganggap I.L. Nommensen sebagai apostel atau rasul sedangkan Singamangaraja XII diangkat sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah pada 9 November 1961. Bagaimana kalau kedua pahlawan yang dua-duanya dianggap sakral oleh orang Batak ternyata saling bermusuhan? Tentu hal itu akan menimbulkan dilema.
Dr. W.B. Sidjabat yang pada tahun 1982 menulis buku berjudul “Ahu Si Singamangaraja: Arti historis, politis, ekonomis dan religius Si Singamangaraja XII” berusaha keras untuk meluruskan dilema itu dengan ‘mendamaikan’ kedua tokoh sakral tersebut, dan juga berusaha untuk mengesampingkan peran zending dalam penaklukan Tanah Batak yang masih merdeka.
Sejarahwan Batak beragama Kristen Protestan ini menggunakan sumber baik primer maupun sekunder, yang tertulis dalam berbagai bahasa termasuk Jerman dan Belanda. Selain mengandalkan sumber tertulis ia juga melengkapinya dengan puluhan wawancara. Di antara sumber primer termasuk bahan arsip Belanda, dan juga bahan dari RMG itu sendiri, terutama laporan tahunan (Jahresbericht) RMG, tetapi ia tidak menggunakan laporan RMG yang lebih terinci dan yang diterbitkan sebulan sekali (Berichte der Rheinischen Missionsgesellschaft). Daripada menggunakan sumber primer, yaitu tulisan I.L. Nommensen sendiri yang terdapat dalam BRMG, khusus untuk Perang Toba I, Sidjabat menggunakan buku yang ditulis oleh J.T. Nommensen (anak I.L. Nommensen) berjudul Porsorion ni L. Nommensen yang diterbitkan pada tahun 1925 di Zendingsdrukkerij Laguboti setelah I.L. Nommensen meninggal (1918) dan menceritakan riwayat hidupnya yang sebagian berdasarkan tulisan Nommensen di BRMG, tetapi tentu sudah disadur dan diringkas.
Dalam BAB VI Pertarungan rakyat Sumatra Utara bersama Si Singamangaraja XII melawan Belanda butir 1–11 (hal. 151–186) membahas Perang Toba I, dan BAB itu sangat diwarnai oleh sumber sekunder Porsorion ni L. Nommensen. Sayang Sidjabat tidak memanfaatkan sumber primernya, yaitu laporan Nommensen dalam RBMG. Padahal BRMG merupakan sumber sejarah Batak yang tak ternilai yang menceritakan sejarah Batak dari sudut pandang zending selama lebih dari 50 tahun di atas sekitar 10.000 halaman. Tampaknya hingga kini laporan lengkap I.L. Nommensen tentang Perang Toba I tidak pernah digunakan untuk penulisan sejarah Batak hingga dirasakan perlu untuk menerbitkan ulang catatan Nommensen tentang perang Toba dalam terjemahan bahasa Indonesia.
Sidjabat tidak berniat menuliskan sejarah secara objektif. Dengan sangat jelas ia memperlihatkan sikap pro zending, pro Singamangaraja, dan anti Belanda. Belanda digambarkan sebagai orang yang “cerdik “(hal. 157), memiliki “tangan kotor” (158), “hendak memanfaatkan Nommensen”, menggunakan “tindakan keganasan” (171), “mengadakan kegiatan ganas” (171), tujuannya “didorong oleh keserakahan ekonomi dan militer”, dan pada pasukan Belanda, demikian ditulisnya, yang menonjol “hanya unsur kebinatangan manusia” (179).
Walaupun Nommensen pada Perang Toba I mendampingi pasukan Belanda dari hari pertama sampai hari terakhir, dan walaupun ia sangat berperan dalam pecahnya perang tersebut, Nommensen dan pihak zending jarang sekali disebut oleh Sidjabat, dan kalaupun disebut maka Nommensen dan kawan-kawannya digambarkan secara serba positif. Sidjabat berusaha keras meyakinkan pembaca bukunya bahwa “kehadirannya [...] bukan dalam rangka penjajahan” (156), Nommensen melakukan “pelbagai usaha untuk mengelakkan pertumpahan darah” (165), “berulang kali mengatakan kesediaannya menempuh jalan damai” (166), “tidak dapat menyetujui tindakan kekerasan yang digunakan oleh Belanda” (159), dan “merasa sedih sekali” melihat kampung-kampung Batak dibakar Belanda:
Nommensen akhirnya ‘merasa pusing kepala dan terpaksa membaringkan dirinya di dekat sebatang pohon ara dekat Paindoan’. Hasil pekerjaannya sejak tahun 1876 di Toba pastilah akan mengalami kesulitan akibat tindakan kekerasan Belanda ini. [...] Pihak Nommensen bersama zendeling lain, yang memang terjepit dalam keadaan ini [maksudnya Perang Toba, U.K.], masih berusaha untuk mengelakkan pertumpahan darah. [7]
Sidjabat tidak menafikan bahwa Nommensen memanggil Belanda ke Silindung tetapi ia berargumentasi bahwa Belanda bagaimana pun sudah bertekad masuk ke Silindung sehingga “Nommensen hanya bahan pelengkap saja dan bukan merupakan alasan sebenarnya mengirim serdadu ke Silindung.” Kalau pun, di samping laporan Nommensen kepada Belanda tentang rencana Singamangaraja untuk membunuh atau mengusir para penginjil dan semua orang beragama Islam, masih ada alasan lain maka Belanda mau masuk ke Silindung, tetapi kesimpulan Sidjabat “bahwa kedatangan Belanda ke Silindung itu ialah atas permintaan Nommensen, tidak benar” bertolak belakang dengan laporan Nommensen sendiri. Sidjabat lalu meneruskan argumentasinya:
Nommensen masih berusaha sekuat tenaga untuk mendekati Residen Boyle dan Kontelir van Hoevel dan mengusulkan, agar jangan sampai mengadakan tindakan kekerasan. [8]
Pertumpahan darah dan kekerasan berlebihan memang dapat memojokkan pihak zending, namun para penginjil bukan secara mutlak anti kekerasan. Pasukan bantuan Kristen yang dipersenjatai Belanda, dan yang dikecam keras oleh surat-kabar Hindia Belanda karena tindakan mereka yang “bengis dan keji” dalam Perang Toba I, dibela pihak zending dengan kata-kata berikut:
Memang benar bahwa mereka [pasukan bantuan Kristen, UK] diperintahkan Belanda untuk membakar beberapa kampung. Kalau dalam perang memang ada pertumpahan darah, hal itu perlu dimaklumi, di Eropa pun halnya demikian, namun para penginjil selalu berusaha agar tidak ada pertumpahan darah yang berlebihan. [9]
Sidjabat mengakui bahwa tidak semua orang Batak berpihak pada Singamangaraja:
…semangat juang dari pihak rakyat tidak pernah mundur kecuali semangat mereka yang mengkhianati perjuangan [10]
Namun secara umum timbul kesan seolah-olah para raja secara bahu-membahu melawan Belanda:
Pihak Singamangaraja pun segera pula mengadakan reaksi. Raja-raja dan para panglima diajak bermusyawarah untuk menentukan apakah mereka bersedia melihat daerahnya dipreteli atau mengadakan perlawanan. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1877. Mufakat pun tercapai untuk tidak membiarkan politik ekspansi Belanda berjalan terus. [11]
Kenyataan yang sebenarnya jauh lebih kompleks sebagaimana yang diceritakan Sidjabat. Pihak zending melaporkan bahwa “banyak daerah yang sudah berulang kali meminta kepada pemerintah Belanda agar wilayahnya dianeksasi”.[12] Raja yang memeluk agama Kristen rata-rata setuju kalau Silindung dimasukkan ke dalam wilayah kolonial Belanda, dan juga di antara raja yang masih berpegang pada agama nenek moyangnya tidak semua anti Belanda.
Sangat penting bagi Sidjabat adalah rekonsiliasi zending dengan Singamangaraja dan untuk upaya tersebut ia menyediakan sebuah BAB secara eksklusif: IX Sikap Sisingamangaraja XII terhadap Zending (hal. 395–411).
Menurutnya ada kontinuitas sikap dari Singamangaraja X hingga XII terhadap zending yang ditandai oleh rasa persahabatan: “tidak ada sikap permusuhan dari Si Singamangaraja X terhadap pihak zending” (157), melainkan “sejak tibanya pihak zendeling, hubungan dengan Singamangaraja segera dipelihara dengan baik (157), “Si Singamangaraja XI juga malah berkelakar dengan Nommensen” (158). Menurut Sidjabat Singamangaraja bukan “musuh bebuyutan pemerintah Belanda dan zending Kristen”[13] sebagaimana ia dicap oleh pihak zending, melainkan anggapan zending itu hanya merupakan “godogan [sic!] pihak Kolonial Belanda.”
Kalau kita percaya pada kesimpulan Sidjabat maka para penginjil terus-menerus diakali dan dimanfaatkan Belanda. Sulit untuk mempercaya bahwa Nommensen dkk., apalagi pihak pimpinan RMG yang selalu memantau pekerjaan mereka dengan sangat seksama, begitu naif.
Pendekatan dikotomi hitam-putih yang sedemikian agaknya tidak sesuai dengan kenyataan, dan jelas tidak didukung oleh catatan para penginjil, terutama Nommensen dalam laporannya di BRMG.
Pada tahun 1876 Nommensen masih percaya bahwa pekerjaan zending bisa lebih sukses di daerah yang merdeka:
Menurut berita yang kami peroleh dari Sibolga [14], tampaknya pemerintahan Belanda untuk sementara tidak ditetapkan di Silindung. Berita itu menggembirakan. Makin lama makin kami sadari bahwa keadaan di daerah merdeka lebih mendukung daripada di daerah pemerintahan betapa pun kejamnya dan liarnya orang Batak merdeka bisa menyusahkan seorang penginjil. Orang Batak merdeka lebih bersemangat dan jiwanya lebih terbuka [daripada mereka di daerah yang dikuasai Belanda]. [15]
Namun alasan utama maka zending tidak menginginkan Belanda masuk karena para zendeling khawatir bahwa bersama dengan orang Belanda orang Islam akan masuk ke Tanah Batak:
Semoga dengan bantuan Tuhan kami berhasil mengkristenkan semua orang Batak di lembah ini [Silindung] sebelum datang pemerintahan Belanda karena pemerintahan Belanda tentu akan membawa orang Islam ke sini. [16]
Sikap ini berubah setelah zending memiliki basis umat Kristen yang lebih kokoh. Pada tahun 1878, setelah keadaan di Silindung menghangat, zending meminta kepada pemerintah Belanda agar Silindung segera dimasukkan ke dalam wilayah Hindia-Belanda:
Kalau Belanda sekarang hendak menyelenggarakan pemerintahan maka hal ini tentu membawa berkat. [..] Apakah hal itu juga menguntungkan zending, apakah dengan pemerintahan Belanda agama Islam akan masuk adalah pertanyaan yang lain lagi. Oleh sebab itu maka para misionaris belum pernah meminta agar Silindung dianeksasi. Kalau hal itu sekarang diminta [...] jelas pemerintahan Belanda juga sangat bermanfaat bagi zending kita, dan bila kelak kita harus bersaing dengan agama Islam maka sekarang agama Kristen di Silindung sudah memiliki kemajuan yang susah terkejar. [17}
Ternyata zending tidak menduga bahwa permintaan mereka agar pemerintah mengirim pasukan ke Silindung akan mendapat kecaman keras.
Malahan pihak di Belanda yang bersahabat dengan zending keberatan dengan kenyataan bahwa penginjil kita meminta bantuan pemerintah Belanda. [18]
Menurut penginjil mereka tidak bersalah memanggil bantuan Belanda karena mereka berada di wilayah yang “pada hakikatnya” (eigentlich) berada di bawah kekuasaan Belanda. Masalahnya di sini bahwa mungkin de jure (secara hukum) Silindung sudah termasuk wilayah Hindia-Belanda tetapi tidak de facto (secara nyata) karena pemerintah Belanda tidak ada perwakilan apa-apa di sana dan pemerintahan sepenuhnya berada di tangan raja.
Kalau ada utusan Singamangaraja datang ke Silindung untuk menghasut rakyat – yang pada hakikatnya telah berada di bawah kekuasaan Belanda – dan menyerukan agar mereka tunduk pada Aceh, dan kalau penginjil kita mendengar rencana orang Aceh itu untuk mendirikan kekuasaannya di atas kerajaan Singamangaraja, dan berusaha lagi untuk menjatuhkan kekuasaan Belanda di Angkola, Mandailing, dan Padang Bolak, apakah penginjil kita bukan berkewajiban untuk segera melaporkan hal itu kepada Residen? Bukannya tidak bertanggung jawab kalau mereka tidak melakukan apa-apa? Kalau pemerintah Belanda, berdasarkan laporan penginjil kita, mengirim pasukannya ke Silindung apakah hal itu kesalahan penginjil kita?” [19]
Alasan hukum sekali lagi dimanfaatkan ketika zending dikecam bersama dengan pasukan memasuki dan menduduki Bahal Batu yang termasuk wilayah Singamangaraja – hal mana sudah barang tentu merupakan provokasi. Di sini mereka menjawab bahwa 1. Bahal Batu pun sudah termasuk wilayah Belanda, dan 2. Singamangaraja hanya menjadi raja di Bangkara.[20] Menarik untuk dicatat di sini bahwa hanya setahun sebelumnya, 1977, Gubernur Sumatra menyuruh penginjil untuk meninggalkan Bahal Batu karena menurutnya Bahal Batu tidak termasuk wilayah Hindia-Belanda. Pernyataan itu memang kemudian ditarik kembali, tetapi kisah ini membuktikan bahwa pemerintah Belanda sendiri tidak mengetahui dengan pasti daerah mana yang termasuk wilayahnya dan mana yang tidak karena mereka tidak berminat untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerah Silindung.
Pandangan dan interpretasi Sidjabat tentang sejarah seputar Perang Toba Pertama sekarang secara umum diterima, terutama oleh kalangan HKBP. Di dalam salah satu makalah keluaran HKBP berjudul Pahlawan Nasional Indonesia Si Singamangaraja di mata HKBP oleh Pdt. Rachman Tua Munthe, Praeses HKBP Distrik III Humbang, disebutkan bahwa,
…selama timbulnya bentrokan di antara Si Singamangaraja XII dengan pemerintah Belanda, Gereja (Zending) berada pada pihak ketiga yang mencoba mengadakan perjanjian perdamaian. Dengan demikian, pemerintah kolonial Belanda tidak sejajar dengan Zending dan Gereja.
Munthe juga mengutip buku berjudul Abastraksi [sic!] Pelayanan DR. Ingwer Ludwig Nommensen di Tanah Batak:[21]
Waktu perang Raja Sisingamangaraja XII melawan Tentara Belanda, Nommensen mengambil sikap bijaksana dan netral.
Tentu saja kepentingan zending dan pemerintah berbeda, tetapi di berbagai bidang kepentingan mereka sejajar. Baik zending maupun pemerintah kolonial melihatnya sebagai tugas mereka untuk membawa peradaban pada bangsa Batak yang mereka cap sebagai liar dan biadab.
Para misionaris juga menekankan bahwa Belanda senantiasa dapat mengandalkan Batak Kristen sebagai teman yang setia:
Betapa orang Batak Kristen dapat diandalkan tampak jelas sekarang, sebagai orang Islam orang Batak takkan mungkin menjadi rakyat yang patuh pada Belanda.” [22]
[...] memang benar bahwa orang Silindung yang Kristen adalah teman setia Belanda, dan bahwa pasukan bantuan mereka berperang bersama pasukan Belanda.” [23]
Kesejajaran zending dan pemerintah tampak pada bahasa yang digunakan Nommensen. Ketika ia menceritakan kembali perjalanannya mengikuti ekspedisi Toba ia secara konsisten menggunakan kata ‘kami’. Kata ‘kami’ malahan digunakannya untuk kegiatan yang dilakukan tentara. Dari hal ini ternyata betapa Nommensen mengidentifikasikan diri dengan tentara:
• Sesudah Residen Boyle bersama Kolonel Engel naik ke sini bersama dengan 200 pasukan lagi maka kami mulai menyerang. [24]
• Sekitar jam 3 sore kampung-kampung itu sudah di tangan kami. 10–12 laki-laki dan sekitar 70 perempuan jatuh ke tangan kami lalu ditawan. [25]
• Di pihak kami dua yang meninggal dan 12 yang cedera. [26]
• [...] berpura-pura menjadi teman dan mengatakan takluk pada kami. [27]
Sedangkan para pejuang di pihak Singamangaraja disebutnya sebagai musuh:
• Belum ada berita tentang adanya gerakan dari pihak musuh. [28]
• Pihak musuh menyerang dua kali masing-masing sekitar 500–700 orang. Serangan kedua lebih kuat tetapi dua-duanya dapat ditangkis dengan mudah dan tanpa jatuhnya korban di pihak Belanda sementara di pihak musuh ada 20 orang yang cedera dan 2 yang mati. [...] Kalau pasukan di Bahal Batu dapat bertahan sampai pasukan tambahan tiba maka kemungkinan pihak musuh menang sangat tipis karena Belanda unggul dalam hal persenjataan dan disiplin. [29]
• Dari Bahal Batu mereka menuju arah barat ke Butar dan menaklukkan kampung-kampung yang berpihak pada musuh. [30]
• Hal tersebut diutamakan oleh para zendeling supaya para musuh pun bisa melihat niat baiknya. [31]
• Setelah kami bekerja dengan tenang selama beberapa minggu musuh kita yang jahat bergerak lagi. [32]
• Simoneit dan Israel tinggal di sini untuk membantu kami kalau-kalau pos diserang musuh. [33]
• Pada malam hari tanggal 16 Februari musuh menembaki kamp tentara dan meninggalkan tiga surat dari buluh yang mengumumkan perang terhadap kami. [34]
• Setiap hari musuh datang, kadang-kadang ribuan orang. [35]
• Kebanyakan musuh berasal dari daerah di sekitar Danau Toba, dari Butar dan Lobu Siregar, digerakkan oleh Singamangaraja, seorang demagog yang menghasut dan mencelakakan rakyatnya. [36]
• Beberapa kali peluru masuk ke rumah pada malam hari, dua kali musuh berusaha untuk membakarnya. [37]
Masih banyak lagi contoh dapat disebut yang menunjukkan bahwa para misionaris jelas berpihak pada Belanda dan menganggap para pejuang yang ingin mempertahankan kemerdekaannya sebagai musuhnya.
Nommensen juga memuji perwira dan pegawai administrasi Belanda:
„Berkat tangan Tuhan,“ demikianlah tulisnya penginjil Nommensen, „dan hal ini menjadi tanda bahwa Tuhan menghendaki rakyat hidup dalam kedamaian, berkat tangan Tuhan ekspedisi militer dikepalai oleh seorang yang sudah bertahun-tahun mengenal orang Batak, orang yang mengetahui kepentingan rakyat, dan yang didampingi perwira yang merasa belas kasihan dengan musuh, yang disegani musuh karena keberaniannya menyerang, yang dengan lapang hati tidak mengejar mereka yang lari. Dengan demikian orang Batak dapat kesan betapa besar keagungan dan kemuliaan orang Eropa sehingga mereka tidak dapat membenci kita, apalagi karena Tuhan menunjukkannya bahwa mereka sendiri bersalah.” [38]
Perlu ditekankan bahwa Nommensen membantu pemerintah dan tentara Belanda dengan rela hati tanpa ada unsur paksaan apa pun. Nommensen melakukannya karena menurut apa yang dipelajarinya di seminaris RMG di Barmen para penginjil berkewajiban untuk selalu bekerjasama dengan pihak pemerintah kolonial dan karena ia percaya bahwa orang Batak hanya bisa menjadi manusia yang beradab bila berada di bawah kekuasaan bangsa Eropa.
Belakangan ini saya membaca sebuah esai di internet yang ditulis oleh Limantina Sihaloho, seorang teolog dari Medan:
Secara pribadi, saya juga kagum pada I.L. Nommensen. Masalahnya, kagum saja tidak cukup. Menjadikan seseorang menjadi legenda bahkan mitos juga dapat berbahaya. Sayangnya manusia mempunyai kecenderungan untuk melegendakan dan memitoskan seseorang terutama yang telah lama meninggal. [...] Nommensen adalah anak zamannya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. [39]
Makalah ini tidak bermaksud untuk mengurangi rasa kagum pada laki-laki suku Frisia dari pulau Nordstrand yang bukan saja sebangsa tetapi juga sesuku dengan saya, tetapi sebagai salah satu sumbangan agar I.L. Nommensen dan tokoh penginjilan Batak lainnya dipandang sebagai “anak zaman dengan segala kelebihan dan kekurangannya” dan tidak sebagai tokoh legendaris. Seorang tokoh dari abad ke-19 tidak patut dinilai berdasarkan nilai-nilai abad ke-21. Bila seorang Jerman sekarang mengatakan bahwa bangsa Jerman lebih unggul dari bangsa lain maka orang itu pasti ditertawakan. Konsep keunggulan ras kini dianggap sebagai sesuatu dari zaman yang berlalu yang sama sekali tidak ada tempat dalam masyarakat Jerman modern. Pada awal abad ke-21 paham keunggulan ras Germania dianggap sebagai paham yang sesat sementara pada abad ke-19, zamannya Nommensen, keunggulan ras putih dianggap sebagai kenyataan.
Nommensen dilahirkan pada tahun 1834 di pulau Nordstrand (yang bila diterjemahkan berarti Pantai Utara). Ketika ia berumur 14 tahun gerakan demokrasi Jerman memberontak melawan kekaisaran, namun revolusi itu gagal. Waktu Nommensen masuk seminaris RMG pada tahun 1857 Jerman belum bersatu tetapi terdiri atas puluhan negeri kecil yang masing-masing berhak untuk membuat peraturan sendiri. Ketika Nommensen pindah ke Pearaja, negeri Jerman (Deutsches Reich) baru berumur dua tahun. Setelah kerajaan-kerajaan kecil akhirnya bersatu dalam Deutsches Reich maka Jerman mengalami perkembangan yang pesat dan barangkali menjadi negara yang paling maju di dunia. Namun, beda dengan negara Eropa lainnya, Jerman, yang baru menjadi sebuah negara pada tahun 1871, belum memiliki daerah penjajahan. [40]
Nommensen dan penginjil RMG lainnya bukan hanya anak zaman, tetapi juga dipengaruhi oleh aliran teologi yang dominan di seminaris RMG. Makalah ini hanya akan menyentuh saja kerangka teologi yang dimiliki oleh para pemimpin dan guru seminaris RMG, dan pembaca yang ingin mengetahuinya secara lebih spesifik dianjurkan membaca artikel Johann (Hans) Angerler berjudul Mission, Kolonialismus, dan Missionierte: Über die deutsche Batakmission in Sumatra.
Di antara guru seminaris ada dua tokoh yang paling berpengaruh: G.L. von Rohden (1815–1889) dan F. Fabri (1824–1891). Menurut von Rohden warna kulit suatu bangsa memperlihatkan tingkat dekadensinya. Makin hitam warna kulit makin parah kemerosotan bangsa itu baik secara moral maupun intelek. [41] Menurutnya bangsa yang dipilih Tuhan adalah bangsa Israel, tetapi setelah Yesus Kristus datang ke bumi maka pusat sejarah dunia berpindah, pertama ke barat (Roma), lalu ke utara (Jerman). Bangsa Jerman dan bangsa Germania lain (Belanda, Skandinavia dan Inggris) dilihatnya sebagai bangsa yang unggul yang dikelilingi bangsa yang lebih rendah seperti Perancis dan Rusia yang hendak menghancurkannya dengan membawa “bibit setan yang tumbuh subur di negerinya” untuk memusnahkan bangsa Jerman. Ideologi itu dibawa para penginjil ke Tanah Batak. Di situ pun bangsa terpilih (Batak) dikelilingi oleh bangsa Melayu yang hina, berdosa, dan berada dalam pengaruh “kekelaman agama Islam yang mengerikan” yang hendak menghancurkan bangsa Batak. Tujuan zending ialah untuk “mengubah kanibal yang kasar menjadi manusia bermartabat, mengubah gerombolan pembunuh berdarah dingin menjadi paroki Kristen, mengubah orang liar yang malas, kotor, tak senonoh dan keji menjadi abdi Tuhan yang beriman, rendah hati, dan penuh kasih sayang.” Von Rohden menjadi guru sejarah, geografi, antropologi, dan sejarah agama, dan mulai 1884 hingga 1889 ia menggantikan Fabri sebagai Direktur RMG. [42]
Menurut Fabri, orang Batak merupakan bangsa yang, bila dibandingkan dengan bangsa lain di Indonesia, relatif lebih unggul, dan jelas tidak serendah bangsa Melayu. Fabri malahan melihat adanya persamaan dengan ras Eropa:
Dibandingkan orang Melayu, mereka [orang Batak, UK] jauh lebih mirip dengan orang Indo-Germania, baik bentuk kepala, tubuh, dan warna kulitnya. Warna kulitnya sedemikian coklat muda sehingga malahan ada yang pipinya kemerah-merahan. Rambutnya juga lebih lembut dan lebih padat daripada rambut orang Melayu, dan kadang-kadang kecokelat-cokelatan. Tubuhnya tegap dan berotot. Tampaknya mereka merupakan ras menengah antara ras Eropa dan Melayu. [43]
Fabri yang menjadi Direktur RMG dari tahun 1857–1884 memiliki latar belakang ideologi yang mirip dengan von Rohden. Ia juga percaya pada keunggulan ras putih. Peristiwa yang membuat ras putih unggul, menurutnya, adalah pembangunan menara Babel yang melambangkan keangkuhan dan kesombongan manusia. Pembangunan menara ini diprakarsai oleh keturunan Ham maka mereka memikul dosa yang terberat sementara keturunan Yafet yang paling sedikit berdosa.
Menurut buku Genesis maka Sem, Ham dan Yafet, ketiga anak nabi Nuh, menjadi nenek moyang semua orang di dunia. Dalam Genesis 9:20-28 anak Ham, Kanaan, dikutuk nabi Nuh: “Terkutuklah Kanaan! Dia akan menjadi budak terhina bagi saudara-saudaranya. Pujilah Tuhan, Allah Sem! Kanaan akan menjadi budak Sem. Semoga Allah menambahkan berkat kepada Yafet dengan meluaskan tempat kediamannya. Semoga keturunannya tinggal bersama-sama dengan keturunan Sem. Kanaan akan menjadi budak Yafet.”
Menurut Genesis 10 maka anak-cucu Yafet menjadi “leluhur bangsa-bangsa yang tinggal di sepanjang pantai dan di pulau-pulau” (Eropa), Sem menjadi leluhur bangsa Ibrani, sementara keturunan keempat anak Ham, yaitu Kus, Mesir, Libia dan Kanaan, tersebar paling jauh.
Dengan demikian, dunia ini terbagi dalam tiga kelompok utama: Eropa atau ras putih (keturunan Yafet), Bangsa Israel (keturunan Sem), sementara semua bangsa yang lain termasuk keturunan Ham yang ditakdirkan menjadi budak keturunan Yafet.
Dengan demikian, menurut ideologi para teolog RMG, maka layak keturunan Yafet (orang Eropa) menjajah tanah keturunan Ham dan membuat penduduknya menjadi budaknya.
Keturunan Ham, terkutuk karena Ham melihat aurat ayahnya, dan berdosa karena mau membangun menara yang bisa mencapai langit – demikianlah ideologi Fabri yang memengaruhi para penginjil termasuk Nommensen – dihukum Tuhan dengan membuat keturunannya menjadi rusak, kekurangan dalam semua hal, rupa, warna kulit, dan intelek. Jadi bangsa putih berhak untuk menjajah dan mengeksploitasi bangsa berwarna. Penjajahan malah merupakan tindakan manusiawi untuk memajukan bangsa berkulit hitam. Salah satu cara untuk mengangkat martabat bangsa terkutuk itu adalah dengan mengkristenkan mereka supaya mereka menjadi lebih beradab. Akan tetapi, kendatipun mereka sudah beragama Kristen, mereka tetap lebih rendah daripada ras Eropa yang keturunan Yafet.
Dengan demikian tidak mengherankan bila para penginjil merasa lebih dekat kepada Belanda daripada kepada orang Batak.
Sidjabat dan pengarang lain sering menekankan adanya jarak antara penginjil RMG dan pihak Belanda karena bangsa mereka berbeda. Para penginjil RMG berbangsa Jerman sementara pemerintah kolonial dijalankan oleh bangsa Belanda. Dengan demikian, begitu kesimpulannya, penjajahan bukan kepentingan para penginjil. Hal itu keliru karena sebagaimana dijelaskan di atas penjajahan bangsa putih terhadap bangsa yang berwarna adalah hal yang penting demi mengangkat martabat bangsa keturunan Ham. Pihak penginjil RMG sama sekali tidak anti penjajahan melainkan mendukungnya dengan penuh hati.
Kita juga bisa melihat dari laporan para penginjil bahwa mereka tidak begitu membedakan antara Belanda dan Jerman dan lebih menekankan kepentingan bersama mereka dengan menggunakan istilah Eropa daripada Belanda:
Hal yang paling penting adalah bahwa Toba keluar dari isolasinya, terbuka pada pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa sehingga dengan sangat mudah zending kita bisa masuk. Memang ada kemungkinan bahwa orang Toba membenci orang Eropa setelah Belanda mengalahkan dan membakar kampung mereka. Namun hal itu tidak terjadi. [44]
Perlu juga diingatkan bahwa orang Belanda waktu itu masih menamakan bahasanya ‘Nederduits’ (Jerman Rendah [45]) sementara Nommensen sendiri penutur asli bahasa Frisia yang merupakan salah satu dialek Jerman Rendah yang sangat dekat dengan bahasa Belanda.
Namun yang lebih penting lagi ialah kenyataan bahwa menurut ideologi rasis yang dianut di kalangan RMG, Belanda sebagai salah satu bangsa Germania merupakan bangsa yang sama unggul dengan bangsa Jerman.
Sebagaimana jauh para penginjil mengidentifikasikan diri dengan para penjajah tampak pada kutipan berikut:
Untuk menilai benar salahnya penaklukan Toba yang dilakukan dengan begitu cepat dan dengan sangat sedikit biaya maupun jumlah korban, maka perlu diperhatikan butir-butir berikut: [...] [46]
Rupanya bagi zending jumlah korban di pihak musuh mereka (pejuang Singamangaraja) tidak perlu dihitung. Tidak diketahui dengan pasti berapa banyak orang meninggal di pihak pejuang Singamangaraja dan sekutunya serta di kalangan penduduk sipil. Paling tidak puluhan namun lebih mungkin sampai beberapa ratus korban yang tewas belum lagi yang cedera. Jumlah yang tidak sedikit, tetapi yang diungkapkan zending dalam konteks ini malahan biaya perang.
Kedekatan Nommensen dan para penginjil lain dengan penjajah sebenarnya tidak mengherankan mengingat pendidikan yang mereka peroleh di RMG. Fabri, Direktur RMG, menekankan agar para penginjil senantiasa menjalin kerja sama yang erat dengan pemerintah kolonial karena tujuan zending dan pemerintahan kolonial pada hakikatnya sama.
Catatan
1. BRMG 1864:232. BRMG (Berichte der Rheinischen Missions- gesellschaft) adalah laporan bulanan zending RMG yang diterbitkan sebulan sekali oleh pimpinan RMG. Isinya terutama laporan dari para penginjil dan pimpinan RMG tentang kemajuan di masing- masing wilayah zending serta peristiwa yang terjadi. BRMG diter- bitkan khusus untuk kalangan RMG serta para sahabat zending yang sangat penting bagi RMG sebagai salah satu sumber pendanaan yang utama. Artikel BRMG yang berkaitan dengan zending Batak mulai dari hari-hari paling awal hingga tahun 1914 ketika perang dunia pertama pecah dan penerbitan BRMG dihentikan.
2. “Todfeind der holländischen Regierung und der Mission” Jahres- bericht der Rheinischen Missionsgesellschaft (Laporan tahunan zending RMG) 1907:46. 3. BRMG 1882 (7): 204.
4. Dalam makalah ini saya menggunakan dua istilah bahasa Belanda yang lazim dipakai dalam konteks penginjilan, yaitu zending (penginjilan, misi) serta zendeling (penginjil, misionaris). 5. BRMG 1879 (6): 170
6. Perang Toba juga sering disebut sebagai “Perang Batak” namun istilah Perang Batak sudah duluan digunakan untuk Perang Sunggal (1872-1895) yang juga sering disebut Perang Batak sesuai dengan istilah baku bahasa Belanda yaitu Batak Oorlog.
7. W.B. Sidjabat. Ahu Si Singamangaraja: Arti historis, politis, ekonomis dan religius Si Singamangaraja XII, Jakarta: Sinar Harapan. 1982. 8. ibid. hal.160. Sayang Sidjabat tidak menyebut dari sumber mana ia memperoleh informasi ini.
9. BRMG 1878 (7): 194 10. Sidjabat op.cit. hal.176. Rupanya Sidjabat enggan menyebut pihak mana yang dimaksud karena terutama orang Batak yang Kristen yang berkolaborasi dengan Belanda. 11. ibid. hal.159 12. RMG 1878: 118 13. “Todfeind der holländischen Regierung und der Mission” Jahres- bericht der Rheinischen Missionsgesellschaft (Laporan tahunan zending RMG) 1907:46. 14. Baik di sini maupun di semua dokumen lainnya Sibolga tetap dieja Siboga – nama asli kota itu.15. Sepucuk Surat dari Penginjil Nommensen. BRMG 1876: 68 16. ibid. hal.68 17. BRMG 1878:118 18. BRMG 1878 (7): 193
19. ibid. hal.193 20. ibid. hal.194. Bangkara kini sering salah dieja Bakara atau, sesuai dengan pelafalannya, Bakkara. Ejaan asli dalam bahasa Batak adalah b^kr ‘Bangkara’. 21. Seksi sejarah dan penggalian nilai budaya panitia napak tilas perjalanan Dr. I.L. Nommensen di Tanah Batak. 2007. 22. BRMG 1878: 154 23. BRMG 1878 (7): 194 24. BRMG 1878 (12): 371 25. ibid. hal.373 26. ibid. hal.377 27. ibid. hal.387 28. BRMG 1878: 117 29. op.cit. hal. 154 30. op.cit. hal. 171 31. op.cit. hal. 195 32. op.cit. hal. 197 33. op.cit. hal. 198 34. op.cit. hal. 199 35. op.cit. hal. 200 36. ibid 37. op.cit. hal. 201 38. BRMG 1882 (7): 204 39. Limantina Sihaloho, Kegelisahan Hati Seorang Dosen Teologi: Antara Nommensen dan TB Silalahi, 18 April 2007. http:/ /bataknews.wordpress.com/2007/04/18/teologi-kristen/ 40. Jerman baru memperoleh daerah jajahan antara tahun 1884– 1899 namun kehilangannya lagi setelah Jerman kalah dalam Perang Dunia Pertama. 41. Hans Angerler. Mission, Kolonialismus, dan Missionierte: Über die deutsche Batakmission in Sumatra. Beiträge zur historischen Sozialkunde 2. 1993 53–61. Lihat juga Lothar Schreiner, Adat und Evangelium: zur Bedeutung der altvölkischen Lebensordnungen für Kirche und Mission unter den Batak in Nordsumatra, Gütersloh: Mohn 1972, serta G. Menzel, Aus 150 Jahren Missionsgeschichte: die Rheinische Mission. Wuppertal: Verlag der Vereinigten Evangelischen Mission 1978:209–14. 42. Setelah 27 tahun mengabdi pada RMG Fabri, yang memprakarsai zending Batak, memutuskan menjadi penulis dan sepenuhnya mengabdikan diri kepada gerakan kolonial Jerman. 43. BRMG 1862:12 44. BRMG 1882 (7): 204.
45. ‘Rendah’ merujuk pada kenyataan bahwa daerahnya datar tidak bergunung, bukan pada status bahasa. 46. BRMG 1882 (7): 202.

Kronologi

Kronologi Perang Toba I
Berikut ini urutan peristiwa perang Toba sebagaimana direkonstruksi dari laporan penginjil Nommensen dan Metzler. Tanggal-tanggal setelah 5 Mei tidak pasti karena tidak disebut berapa lama pasukan Belanda beristirahat di Paranginan.
Akhir 1877
Desas-desus Aceh akan bersekutu dengan Toba
17Des 77 Penginjil di Bahal Batu menerima surat dari Silindung bahwa para ulubalang sudah tiba di Bangkara
Jan. 78 Utusan Singamangaraja datang mengancam misionaris dan orang Kristen
Akhir Janʻ78 Para Penginjil minta agar Belanda mengirim pasukannya
1 Feb 78 Pasukan pertama di bawah pimpinan Kapten Scheltens bersama dengan Kontrolir Hoevel menuju Pearaja
6 Feb 78 Pasukan dengan 80 tentara dan seorang Kontrolir tiba di Pearaja
15Feb 78 Pasukan tiba di Bahal Batu bersama dengan penginjil dari Silindung
16Feb 78 Pengumuman perang dari pihak SSM
17Feb 78 Metzler disuruh membawa istrinya ke Silindung. Ibu Metzler diantar suaminya dan Johannsen ke Pansur na Pitu
19Feb 78 Metzler kembali ke Bahal Batu, tetapi tanggal 20 Feb 1878 kembali lagi ke Silindung
Feb. 1878 Pasukan Singamangaraja menyerang Bahal Batu
1 Marʻ78 Pasukan tambahan berangkat dari Sibolga
14Mar 78 Residen Boyle datang bersama 250 tentara dan Kolonel Engels dari Sibolga
15Mar 78 Silindung dinyatakan menjadi bagian dari wilayah Hindia-Belanda
16Mar 78 Pasukan berangkat ke Bahal Batu. Bahal Batu pun dinyatakan menjadi wilayah Hindia-Belanda
17Mar 78 Butar, Lobu Siregar dan Naga Saribu diserang (17–20 Maret)
Maret Pasukan tambahan 300 tentara dan 100 narapidana diberangkatkan
30Apr 78 Ekspedisi militer untuk menumpaskan pasukan Singamangaraja dimulai. Penginjil Nommensen dan Simoneit mendampingi pasukan Belanda. Lintong ni Huta ditaklukkan
1 Mei 78 Bangkara diserang
2 Mei 78 Kampung-kampung di sekitar Bangkara diserang
3 Mei 78 Raja-raja di Bangkara dipaksa melakukan sumpah setia mengakui kedaulatan Belanda
4 Mei 78 Pasukan maju ke Paranginan
5 Mei 78 Pasukan beristirahat selama beberapa hari di Paranginan
8 Mei 78 Huta Ginjang, Meat dan Gugur ditaklukkan. Pasukan beristirahat selama beberapa hari di Gurgur
11Mei’78 Pasukan menaklukkan Lintong ni Huta Pohan, Panghodia dan Tara Bunga.
12 Mei 1878 Pasukan kembali ke Bahal Batu melalui Onan Geang-Geang, Pintu Bosi, Parik Sabungan dan Lobu Siregar
akhir Mei Nommensen membantu Residen di Bahal Batu

Benteng untuk 80 tentara dibangun di Sipoholon
27Des’78 Nommensen dan Simoneit menerima penghargaan dari pemerintah Belanda

Perang di Toba (Sumatra)
Perang di Toba (Sumatra)
BRMG 1878 hal. 153–154
Pada bulan Januari 1878 muncul utusan Singamangaraja yang menghasut orang agar membunuh para misionaris dan semua orang beragama Kristen. Ketika mau ditangkap oleh para raja yang sudah memeluk agama Kristen maka utusan itu melarikan diri. Sebagai akibat dari ini serta gelagat buruk lainnya maka pasukan 100 tentara yang telah siaga di Sibolga disuruh naik ke Silindung. Kontrolir [1] yang mendampingi pasukan tersebut diberi tugas untuk mengadakan perundingan damai yang tidak berhasil karena raja-raja di Silindung tidak mau sekali lagi bersumpah setia kepada pemerintah Belanda yang selama ini tidak pernah peduli dengan perjanjian-perjanjian yang dahulu dijalinnya. Raja-raja dari Toba, khususnya Singamangaraja, sama sekali tidak datang kecuali satu yang berpura-pura bersahabat namun kemudian ketahuan bermusuhan.
Maka pasukan maju sampai Bahal Batu, pos paling utara, lalu mendirikan benteng pertahanan di sana. Singamangaraja dan para raja dari Toba secara resmi mengumumkan perang terhadap Belanda. Penginjil Metzler menuruti nasihat Kontrolir untuk datang ke Silindung sementara penginjil Püse, Simoneit dan Staudte serta seluruh orang Batak yang Kristen bergabung dengan pasukan di benteng.
Pihak musuh menyerang dua kali masing-masing dengan sekitar 500–700 orang. Serangan kedua lebih kuat tetapi dua-duanya dapat ditangkis dengan mudah dan tanpa jatuhnya korban di pihak Belanda sementara di pihak musuh ada 20 orang yang cedera dan 2 yang mati.
Serangan yang lebih dahsyat diperkirakan akan dilangsungkan pada 2 Maret. Pasukan tambahan sebanyak 200 atau 300 tentara direncanakan berangkat 1 Maret dari Sibolga. Kalau pasukan di Bahal Batu dapat bertahan sampai pasukan tambahan tiba maka kemungkinan pihak musuh menang sangat tipis karena Belanda unggul dalam hal persenjataan dan disiplin. Kolonel Engel yang memimpin pasukan ini malah diberi tugas untuk melancarkan serangan bahkan sampai ke Danau Toba. Tampaknya jelas bahwa Silindung tidak lagi dapat dibiarkan tanpa pemerintahan. Selain itu perlu dipikirkan apakah bukan lebih baik bagi pemerintah Belanda untuk langsung saja menaklukkan seluruh Toba dan sekaligus menjaga agar orang Aceh yang beragama Islam jangan menguasai Toba dan mengislamkan ratusan ribu kafir Toba. Betapa orang Batak Kristen dapat diandalkan tampak jelas sekarang, sebagai orang Islam orang Batak takkan mungkin menjadi rakyat yang patuh pada Belanda.

CITIZEN LAWSUIT Part II by Cekli Setya Pratiwi, S.H.,LL.M.

Istilah dan Pengertian Gugatan Citizen Lawsuit

Istilah Citizen Lawsuit yang dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai “gugatan warga negara”, adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan jenis tuntutan hak yang diajukan oleh warga negara. Istilah dan jenis gugatan ini lazim diterapkan oleh di negara-negara Common Law (Anglo Saxon). Sementara itu, di negara – negara yang menganut system Eropa Continental istilah yang digunakan untuk menyebut jenis gugatan warga negara adalah istilah Actio Popularis.[1]
H.S. Narayama dalam bukunya “Public Interest Litigation”, Asia Law House, Hyderabad, 2000, halaman 21, menyebutkan bahwa gugatan warga negara atau Citizen Lawsuit  dimaksudkan untuk melindungi warga negara dari kemungkinan terjadinya kerugian sebagai akibat dari tindakan atau pembiaran dari negara atau otoritas negara.[2] Lalu Michael D. Axline[3] menegaskan Citizen Lawsuit memberikan kekuatan kepada warga negara untuk menggugat negara dan lembaga lembaga negara yang melakukan pelanggaran undnag-undang atau yang gagal dalam memenuhi kewajiban dan mengimplementasikan undang-undang.
Menurut Gokkel  actio popularis adalah gugatan yang dapat diajukan oleh setiap warga negara, tanpa pandang bulu, dengan pengaturan oleh negara. [4] Dengan demikian setiap anggota warga negara atas nama kepentingan umum dapat menggugat Negara yang melakukan perbuatan melawan hukum, yang nyata-nyata merugikan kepentingan umum dan kesejahteraan masyarakat luas. Dalam actio popularis, hak mengajukan gugatan bagi warga negara atas nama kepentingan umum adalah tanpa syarat, sehingga orang yang mengambil inisiatif mengajukan gugatan tidak harus orang yang mengalami sendiri kerugian secara Iangsung, dan juga tidak memerlukan surat kuasa khusus dari anggota masyarakat yang diwakilinya.
Dengan demikian jelas bahwa, gugatan Citizen Lawsuit adalah gugatan warga negara yang ditujukan kepada Pemerintah atau Negara akibat pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan  oleh negara yang dianggap merugikan kepentingan publik. Tujuan dari gugatan CLS adalah menghukum negara untuk mengeluarkan kebijakan publik yang tidak merigukan warga negara. Kebijakan publik diartikan sebagai keputusan-keputusan yang mengikat publik yang dikeluarkan oleh pemegang otoritas publik.

[1] Namun demikian sejak 1 juli 2005, gugatan Actio Popularis telah dihapus di Negara Belanda.
[2] H.S. Narayama dalam bukunya “Public Interest Litigation”, Asia Law House, Hyderabad, 2000, halaman 21.
[3] Lihat Michael D. Axline, “Environmental Citizen Suit”, United State of America, 1991, halaman 15.
[4] (dalam E. Sundari, 2002:15)

CITIZEN LAWSUIT Part I by Cekli Setya Pratiwi, S.H.,LL.M.

Beberapa karakteristik dari Tergugat dalam Gugatan Citizen Law suit berdasarkan beberapa perkara Citizen Law Suit yang pernah diajukan di Indonesia, adalah sebagai berikut:
Pertama, Tergugat dalam Gugatan Citizen Lawsuit adalah Penyelenggara Negara, Mulai dari  Presiden dan Wakil Presiden sebagai pimpinan teratas, Menteri dan terus sampai kepada pejabat negara di bidang yang dianggap telah melakukan kelalaian dalam memenuhi hak warga negaranya. Dalam hal ini pihak selain penyelenggara negara tidak boleh dimasukkan sebagai pihak baik sebagai Tergugat maupun turut tergugat.
Kedua, Dalam hal pengajuan  Gugatan Citizen Lawsuit, penggugat harus memiliki “standing” untuk  melakukan gugatan Citizen LawSuit ini. Apabila tidak maka Tergugat dapat menuntut pembatalan gugatan Citizen LawSuit apabila penggugat tidak memiliki “standing” untuk menjadi penggugat Citizen Law Suit. Di dalam sistem hukum yang berlaku di Amerika Serikat, persoalan “Standing” merupakan persoalan penting karena berkaitan dengan kewenangan atau jurisdiksi pengadilan. Seperti yang dikatakan oleh Michael D. Axline “…because standing involves the question of whether a court has jurisdiction to hear a particular controversy,…“.  Mahkamah Agung Amerika Serikat mengenal adanya 2 jenis standing, yaitu:
  1. Constitutional “standing” diperlukan dalam penanganan “case or controversy” (kasus atau persengketaansebagaimana diatur persyaratannya dalam Artikel III dari Konstitusi Amerika Serikat.
  2. Prudential “standing”. diperlukan jika dalam suatukasus yang tidak melibatkan kewenangan spesifik Kongresberdasarkan Citizen Law Suit untuk meminta perhatian penuhpengadilan untuk efisiensi dan advokasi yang agresif  Standing seseorang (individu) atau organisasi, sebagian diatur dan ditentukan sesuai dengan rumusan bahasa norma “any person” (siapa pun) atau “any citizen” (setiap warga negara) yang ada di dalam peraturan perundang-undangan yang menetapkan adanya suatu penyebab dimungkinkannya pengajuan suatu gugatan. Dalam peraturan perundang- undangan yang memberikan pengaturan tentang “Citizen Law Suit” secara khusus dirumuskan adanya hak “any person” (siapapun) untuk melakukan gugatan terhadap pelanggar. Dalam putusannya sebagaimana tersebut di atas, Hakim Agung India Bhagwati dalam Kasus S.H Gupta melawan Union of India Air (1982) SC 149 : menegaskan bahwa setiap anggota masyarakat siapapun juga dapat mengajukan gugatan apabila:
    1. Terjadi suatu kesalahan hukum atau kerugian hukum yang disebabkan oleh karena adanya suatu pelanggaran terhadap konstitusi atau pelanggaran atas hak hukum tertentu atau perbuatan lain yang bersifat menghukum;
    2. Terjadinya suatu kesalahan hukum atau perbuatan pembebanan hukum yang dilakukan tanpa otoritas hukum
    3. Seseorang atau kelompok masyarakat (klas) tertentu karena alasan kemiskinan, ketidakberdayaan atau kecacatan atau jika secara ekonomi maupun social berada dalam posisi merugikan tidak memiliki kemampuan untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan;
Di Amerika Serikat, perkembangan hukum “standing” yang kemudian diikuti dengan terjadinya peningkatan pangajuan gugatan Citizen Suit terjadi didasarkan pada pendapat yang bersumber dari putusan The Supreme Court dalam kasus Sierra Club melawan Morton dikombinasikan dengan The Administrative Procedure Act, yang menentukan bahwa siapapun “yang dirugikan” (“aggrieved”) dengan tindakan lembaga negara dapat mengajukan gugatan (judicial review) melawan para agen pemerintah untuk pelanggaran kewajiban yang telah ditentukan oleh Kongres.
Jika ada pihak lain (individu atau badan hukum) yang ditarik sebagai Tergugat/Turut Tergugat maka Gugatan tersebut menjadi bukan Citizen Lawsuit lagi, karena ada unsur warga negara melawan warga negara. Gugatan tersebut menjadi gugatan biasa yang tidak bisa diperiksa dengan mekanisme Citizen Lawsuit.

RECHTSGROND (BASIC LAW) PERMOHONAN SECARA VOLUNTAIR Part II

II. Bidang Paten yang Diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2000
Permohonan diajukan kepada Pengadilan Niaga agar menerbitkan penetapan segera dan efektif, berdasarkan Pasal 125, untuk:
a. Mencegah berlanjutnya pelanggaran paten, khususnya:
-mencegah masuknya barang yang diduga melanggar paten
-termasuk tindakan importasi
b. Menyimpan bukti yang berkaitan dengan pelanggaran paten dan menghindari terjadinya penghilangan barang bukti
c. Meminta kepada pihak yang merasa dirugikan agar memberitahukan bukti yang menyatakan pihak tersebut memang berhak atas paten itu.

RECHTSGROND (BASIC LAW) PERMOHONAN SECARA VOLUNTAIR Part I

I. Bidang Hukum Keluarga
Diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maupun peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum keluarga.
a. Permohonan izin poligami berdasarkan Pasal 5 UU No. 1Tahun 1974;
-dalil permohonan berdasarkan ketentuan yang digariskan Pasal 4 Ayat 1,
-diikuti dengan pemenuhan syarat-syarat yang disebut Pasal 5 Ayat 1
b. Permohonan izin melangsungkan perkawinan tanpa izin orang tua, berdasarkan Pasal 6 Ayat 5 UU No. 1 Tahun 1974;
-dalam hal orang tua berbeda pendapat memberi izin perkawinan bagi yang berumur 21 tahun atau mereka yang tidak memberi pendapat,
-dalam peristiwa yang seperti itu, yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan izin kepada Pengadilan untuk melangsungkan perkawinan tanpa izin orang tua
c. Permohonan pencegahan perkawinan berdasarkan Pasal 13 juncto Pasal 17 Ayat 1 UU No. 14 Tahun 1970;
-apabila dalam perkawinan yang dilangsungkan ada pihak yang tidak memenuhi syarat,
-maka keluarga garis lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali, dan pengampu dapat mengajukan permohonan pencegahan kepada Pengadilan
d. Permohonan dispensasi nikah bagi calon mempelai pria yang belum berumur 16 tahun berdasarkan Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974
e. Permohonan pembatalan perkawinan, berdasarkan Pasal 25, 26, dan 27 UU No. 1 Tahun 1974
f. Permohonan pengangkatan wali berdasarkan Pasal 23 Ayat 2 Kompilasi Hukum Islam, Keppres No. 1 Tahun 1991 juncto Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1987
g. Permohonan penegasan pengangkatan anak berdasarkan penggarisan yang diatur dalam SEMA No. 6 Tahun 1983 tanggal 30 September 1983 tentang Penyempurnaan SEMA No. 2 Tahun 1979

___RESUME dari M. Yahya Harahap, 2010, Hukum Acara Perdata (tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan), Jakarta: Sinar Grafika___

KONSEP "RAJA" MENURUT BATAK

Konsep "Raja" bagi orang Batak sangat sering digunakan dalam berbagai aspek dan tatanan kehidupan masyarakatnya. Seperti pada pemberian nama Jamalim = Raja alim, Jamalo = Raja Pintar. Bahkan ada istilah "Sude do halak batak raja. Di son raja di san raja."

Karena itu pengertian "Raja" pada Suku Batak:

Sebagai kedudukan, jabatan atau penguasa tertinggi, yaitu seseorang yang memegang wewenang dan kekuasaan memimpin suatu bangsa, wilayah atau kerajaan, atau dalam bahasa Inggris = King. Sebagai pemimpin pemerintahan kerajaan. Mis: Raja Sisingamangaraja.
Orang yang besar kuasanya pengaruhnya di suatu lingkungan. Contoh: Raja Huta = sebagai pemimpin huta (kampung), bisanya si pungka huta (yang membuka kampong) pada masa Batak Kuno. Semua keturunan marga pembuka huta juga disebut Raja.
Orang yg mempunyai keistimewaan atau keahlian khusus. Mis: Raja Parhata = juru bicara, pembawa acara adat yang ahli adat.
Status dalam adat atau tata kekerabatan. Misal : Raja ni Hula-hula (Pihak keluarga pemberi perempuan dalam suatu perkawinan Batak); Si Raja Ibot = ito (laki-laki).
Gelar kehormatan. Misal: Si Raja Batak selaku leluhur suku Batak (Toba).
Sapaan hormat. Misal: “Amang Rajanami!” (bapak yang terhormat/bapak yang kami hormati).
Sikap dan perilaku: yang mencerminkan akal pikiran dan budi pekerti yang terpuji serta terhormat. Jika dikatakan "Ndang diparaja-raja asa raja (maknanya: Seseorang dikatakan raja bukan karena berlagak atau diperlakukan bagai raja, tetapi karena sikap dan perbuatannya seseorang pantas dijuluki "raja").

DALIHAN NA TOLU DAN BUDAYA KERJA

Dalihan Na Tolu merupakan identitas etnis Batak. Dalam buku “Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba” ditulis J.C Vergouwen menyebutkan, Dalihan Na Tolu adalah unsur kekerabatan warga masyarakat Batak. Maka setiap sub-etnis Batak memiliki garis penghubung satu sama lain.Dalihan Na Tolu dari sisi bahasa berarti tungku yang berkaki tiga, saling menyokong. Tanpa ada yang lebih tinggi. Dalihan Na Tolu dalam status dan peranan seseorang berbeda nama sama, memang agak paradoks.

Adalah; Hulahula disebut pihak istri atau ibu. Dongan Sabutuha berarti semarga atau selevel. Dan, pihak Boru adalah pihak yang menerima anak perempuan hulahula. Terangkum somba marhulahula, elek marboru, manat mardongan tubu. Masing-masing saling menghormati: pihak hulahula, mawas terhadap saudara semarga dan membujuk rayu, melindungi, mengayomi (boru) putri.

Sistim sosial ini menjadi filosofi, dan terlihat dalam upacara adat. Setiap unsur memiliki hak dan kewajiban yang berbeda, namun pada prinsipnya sama. Setiap orang Batak menduduki ketiga status ini, pada saat tertentu dia bisa boru, hulahula, dan dongantubu. Jadi tidak selamanya posisi boru melekat. Paradoks tadi, ia bisa menjadi boru bisa menjadi hulahula—di adat borunya.

Dari sisi religi, Dalihan Na Tolu menggambarkan relasi manusia dengan sang pencipta. Yang disebut banua toru, banua tonga dan banua ginjang. DR.Philip.O.Tobing dalam bukunya The Structure of the Toba Batak Belief in the High God (1963) menyebutkan, Batara Guru, Bala (Mangala) Sori, dan Bala (Mangala) Bulan adalah representasi dari masing-masing hulahula, dongan-sabutuha dan boru.

Di lima sub-etnis Batak; Karo, Pakpak, Simalungun, Mandailing/Angkola, Toba. Dalihan Na Tolu memiliki persamaan. Toba; Dongan Sabutuha, Hulahula, Boru. Sedangkan Simalungun menyebutnya Tolu Sahundulan; yang berarti Tondong (Toba=Hula-hula), Sanina (Dongan Sabutuha), Boru (boru).

Sementara di Karo menyebut, Daliken Sitelu atau Rakut Sitelu. Istilah Daliken Sitelu berarti tungku yang tiga. Daliken berarti batu tungku, sementara Si samadengan Telu tiga. Menunjuk pada esensi kehidupan sehari-hari. Yang juga mengambarkan ada ikatan setiap individu Karo tidak lepas dari tiga kekerabatan tersebut. Unsur Daliken Sitelu ini adalah; Kalimbubu (Toba;Hula-hula), Sembuyak atau Senina (Dongan sabutuha), AnakBeru (Boru).

Sama juga di Mandailing/Angkola sistim kekerabatan itu menunjukkan arti tumpuan, menunjuk pada hakekatnya yang didukung oleh kata dalian. Dalian berarti tumpuan mendasar pada budaya. Tumpuan Yang Tiga bagi kelangsungan hidup masyarakat Mandailing/Angkola. Mereka menyebut Mora (Toba; Hula-hula), Anakboru (boru), Hahanggi (Sabutuha).

Etos Habatahon

Meminjam istilah Guru Etos Indonesia Jansen Sinamo menyebutkan, Etos Habatahon berasal dari Unok ni partondian, Parhatian Sibola Timbang, Parninggala Sibola Tali, Pamoru Somarumbang, Parmahan So Marbatahi. Etos Habatahon dalam Batak Toba bisa dilihat dari motto Anakhonhi Do Hamoraon di Ahu. Etos yang mendorong Toba identik pekerja keras. Ditambah budaya 3H Hamoraan, Hagabeon, Hasangapon. Demi kekayaan, status sosial mereka dipacu menjadi sedikit ambisius dari sub-eknis.

Etos kerja Simalungun terlihat dari nilai-nilai sehari-hari semboyang Habonaron Do Bona. Yang berarti segala tindakan dilandasi dengan kebenaran. Filosofi tersebut mendorong Simalungun bertindak benar berlandaskan azas yang benar pula. Hal itu terpancar dari sifat penuh kehatihatian dalam pekerjaan.

Filosofi kerja Pakpak; Ulang Telpus Bulung. Bisa diartikan daun jangan sampai terkoyak atau bocor, daun yang dimaksud daun pisang yang dipakai sebagai alas makanan pengganti piring (pinggan pasu). Ulang Telpus Bulung menekankan berani berkorban. Dalam budaya kerja sifat ini perlu ada.

Etos kerja orang Mandailing/Angkola terlihat dari sisitim “Marsialap Ari” adalah etos kerja yang selalu didukung dengan team work. Masyarakat Mandailing/Angkola terlihat pekerja telaten, sabar, dan pekerja keras.

Sedangkan Sada Gia Manukta Gellah Takuak menjadi filosofi Karo. Artinya walaupun seseorang hanya memiliki seekor ayam, yang terpenting berkokok. Ayam berkokok simbol membangunkan orang untuk bagun pagi hari. Filosofi ini memotivasi masyarakat Karo gigih bekerja. Sifat ringan hati untuk berusaha.

Etos Habatahon didasari dari semangat kerja, yang diadopsi dari sistim nilai-budaya. Budaya yang berakar pada Dalihan Na Tolu tersebut berproses mejadi sebuah sistim nilai kerja. Etos Habatahon bisa dirasakan lewat alunan gondang. Gondang dengan paduan suaranya akan membawa suara yang indah, tetapi jika hanya dibunyikan satu alat musik saja tentu suaranya sumbang. Artinya ada etos team work. Dipaduan gondang itu. Ia indah takkala perpaduan suara gendang yang lain.

Etos Habatahon jika tinjau dari sisi budaya kerja sekuler berarti, mengerti posisi. Ada waktunya menjadi bos (hulahula), ada saatnya menjadi mitra kerja (Dongansabutuha), ada saatnya menjadi pesuruh, karyawan, karier terbawah (Boru).

Namun, sesungguhnya ketiga sistim tadi tidak bisa berdiri sendiri, harus kait mengkait. Hulahula (boss, pemimpin) harus mengayomi, memperhatikan boru (karyawan-nya). Dongansabutuha atau rekan kerja, sesama selevel harus saling menghargai, di depan bos. Boru (karyawan) harus menghargai pimpinan sebagai pemilik perusahaan. Artinya ada moral kerja tertanam di filosofi Dalihan Na Tolu.

Pakar Manajemen Rhenald Kasali mengatakan, dalam pekerjaan memang perlu ada moral (morale). Sebab, moral kerja itu adalah spirit yang mesti dimiliki setiap orang untuk hidup atau bekerja. Dengan moral kerja yang tinggi seorang percaya diri terhadap masa depan. Bekerja dengan etos kerja yang tinggi berarti pula membantu diri menemukan tujuan hidup. Terpacu karena mengerti posisi.

Karena itu, diperlukan semacam dekonstruksi identitas budaya bagi pemahaman filosofi budaya kerja. Agar pesan moral Dalihan Na Tolu menjadi watak, karakter, sifat budaya. Yang bisa menjelma menjadi etos kerja menunjang karier.

Menghargai kearifan budaya berarti mempunyai perangi etos kerja, sebagai budaya yang melekat pada setiap orang. Dan menumbuhkembangkan kearifan budaya masing-masing. Maka mutu dan produktifitas akan tumbuh.

Etos kerja budaya berarti berfikir menggunakan akal (karsa) dari kearifan budaya. Spirit kerja mendorong seseorang produktif, karena ada karsa menjelma menjadi sistim nilai. Kearifan budaya tersusun atas pikiran sadar dan bawah sadar kemudian menjadi filosofi. Kearifan Budaya mengajarkan kita saling menghargai, mengetahui posisi, porsi, dan kapasitas diri.

Kearifan budaya berkembang karena perkembangan paradigma masyarakat-nya. Jadi, mengapa malu memakai etos budaya dalam bekerja, sebab nilai-nilai budaya tidak kala baik dari semangat kapitalisme Barat. Jadi, filosofi Dalihan Na Tolu jika dihubungkan dengan budaya kerja akan menghasilkan etos (spirit) Habatahon.

KONSEP IKATAN KERABAT PATRILINEAL SUKU BANGSA BATAK

Perkawinan pada orang Batak merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki atau perempuan. Perkawinan juga mengikat kaum kerabat laki-laki dan kaum kerabat perempuan.

Menurut adat lama pada orang Batak, seorang laki-laki tidak bebas dalam memilih jodoh. Perkawinan antara orang-orang rimpal, yakni perkawinan dengan anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya, dianggap ideal. Perkawinan yang dilarang adalah perkawinan satu marga dan perkawinan dengan anak perempuan dari saudara perempuan ayahnya.

Kelompok kekerabatan orang Batak memperhitungkan hubungan keturunan secara patrilineal, dengan dasar satu ayah, satu kakek, satu nenek moyang. Perhitungan hubungan berdasarkan satu ayah sada bapa (bahasa Karo) atau saama (bahasa Toba). Kelompok kekerabatan terkecil adalah keluarga batih(keluarga inti terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak).

Dalam kehidupan masyarakat Batak, ada suatu hubungan kekerabatan yang mantap. Hubungan kekerabatan itu terjadi dalam kelompok kerabat seseorang, antara kelompok kerabat tempat istrinya berasal dengan kelompok kerabat suami saudara perempuannya.

Tiap-tiap kelompok kekerabatan tersebut memiliki nama sebagai berikut.

Hula-hula; orang tua dari pihak istri, anak kelompok pemberi gadis.
Anak boru; suami dan saudara (hahaanggi) perempuan kelompok penerima gadis.
Dongan tubu; saudara laki-laki seayah, senenek moyang, semarga, berdasarkan patrilineal.

Konsep Pemimpin Politik Suku Bangsa Batak

Pada masyarakat Batak, sistem kepemimpinan terdiri atas tiga bidang.

Bidang adat. Kepemimpinan pada bidang adat ini tidak berada dalam tangan seorang tokoh, tetapi berupa musyawarah Dalihan Na Tolu (Toba), Sangkep Sitelu (Karo). Dalam pelaksanaannya, sidang musyawarah adat ini dipimpin oleh suhut (orang yang mengundang para pihak kerabat dongan sabutuha, hula-hula, dan boru dalam Dalihan Na Tolu).
Bidang agama. Agama Islam dipegang oleh kyai atau ustadz, sedangkan pada agama Kristen Katolik dan Protestan dipegang oleh pendeta dan pastor.
Bidang pemerintahan. Kepemimpinan di bidang pemerintahan ditentukan melalui pemilihan.

Konsep Agrikultural Suku Batak - Marsitalolo dan Solu

Orang Batak bercocok tanam padi di sawah dengan irigasi. Pada umumnya, panen padi berlangsung setahun sekali. Namun, di beberapa tempat ada yang melakukan panen sebanyak dua atau tiga kali dalam setahun (marsitalolo).

Selain bercocok tanam, peternakan merupakan mata pencarian penting bagi orang Batak. Di daerah tepi danau Toba dan pulau Samosir, pekerjaan menangkap ikan dilakukan secara intensif dengan perahu (solu). Konsep Bahasa, Pengetahuan, dan Teknologi Suku Bangsa Batak

Bahasa, pengetahuan, dan teknologi adalah bentuk budaya dasar sebuah bangsa atau suku bangsa. Mari kita ulas ketiga aspek tersebut pada suku bangsa Batak.

1. Bahasa

Suku Batak berbicara bahasa Batak. Bahasa Batak termasuk ke dalam rumpun bahasa Melayu - Polinesia. Hampir setiap jenis suku Batak memiliki logat tersendiri dalam berbicara. Oleh karena itu bahasa Batak memiliki 6 logat, yakni logat Karo oleh orang Batak Karo, logat Pakpak oleh orang Batak Pakpak, logat Simalungun oleh orang Batak Simalungun, logat Toba oleh orang Batak Toba, Mandailing, dan Angkola.

2. Pengetahuan

Masyarakat suku Batak mengenal sistem gotong royong kuno, terutama dalam bidang bercocok tanam. Gotong royong ini disebut raron oleh orang Batak Karo dan disebut Marsiurupan oleh orang Batak Toba. Dalam gotong royong kuno ini sekelompok orang (tetangga atau kerabat dekat) bahu-membahu mengerjakan tanah secara bergiliran.

3. Teknologi

Teknologi tradisional suatu suku bangsa adalah bentuk kearifan lokal suku bangsa tersebut. Suku bangsa Batak terbiasa menggunakan peralatan sederhana dalam bercocok tanam, misalnya bajak (disebut tenggala dalam bahasa Batak Karo), cangkul, sabit (sabi-sabi), tongkat tunggal, ani-ani, dan sebagainya.

Teknologi tradisional juga diaplikasikan dalam bidang persenjataan. Masyarakat Batak memiliki berbagai senjata tradisional seperti hujur (semacam tombak), piso surit (semacam belati), piso gajah dompak (keris panjang), dan podang (pedang panjang).

Di bidang penenunan pun teknologi tradisional suku Batak sudah cukup maju. Mereka memiliki kain tenunan yang multifungsi dalam kehidupan adat dan budaya suku Batak, yang disebut kain ulos.
Konsep Marga dalam Suku Bangsa Batak

Dalam "Kamus Besar Bahasa Indonesia", kata 'marga' merupakan istilah antropologi yang bermakna 'kelompok kekerabatan yang eksogam dan unilinear, baik secara matrilineal maupun patrilineal' atau 'bagian daerah (sekumpulan dusun) yang agak luas (di Sumatra Selatan).

Marga adalah identitasnya suku Batak. Marga diletakkan sebagai nama belakang seseorang, seperti nama keluarga. Dari marga inilah kita dapat mengidentifikasi bahwa seseorang adalah benar orang Batak.

Ada lebih dari 400 marga Batak, inilah beberapa di antaranya:

Aritonang, Banjarnahor (Marbun), Baringbing (Tampubolon), Baruara (Tambunan), Barutu (Situmorang), Barutu (Sinaga), Butarbutar, Gultom, Harahap, Hasibuan, Hutabarat, Hutagalung, Gutapea, Lubis, Lumbantoruan (Sihombing Lumbantoruan), Marpaung, Nababan, Napitulu, Panggabean, Pohan, Siagian (Siregar), Sianipar, Sianturi, Silalahi, Simanjuntak, Simatupang, Sirait, Siregar, Sitompul, Tampubolon, Karokaro Sitepu, Peranginangin Bangun, Ginting Manik, Sembiring Galuk, Sinaga Sidahapintu, Purba Girsang, Rangkuti, dan lain-lain.