Utusan Damai di Kemelut Perang
Prakata
Ludwig
Ingwer Nommensen adalah seorang tokoh yang oleh sebagian orang Batak
tidak hanya dihormati atas jasanya menyebarkan agama Kristen di Tanah
Batak, tetapi bahkan dianggap sebagai rasul atau apostel Batak.
Sumbangan
Nommensen dan tokoh-tokoh injil lainnya – yang namanya jarang disebut –
berdampak luas pada masyarakat Batak, bukan saja di bidang kerohanian,
tetapi juga di bidang pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.
Tokoh
penginjilan dari Rheinische Missions-Gesellschaft (RMG), lembaga
penginjilan asal Jerman, ini hidup di antara orang Batak selama lebih
dari 50 tahun. Tentu dapat dipahami bahwa orang Batak yang beragama
Kristen Protestan mengenang Nommensen dengan rasa kagum dan bangga.
Namun
Nommensen sesungguhnya hanya salah satu dari banyak penginjil RMG yang
ditugaskan untuk menyebarkan injil di Tanah Batak. Dia bukan pemrakarsa
zending Batak dan otoritasnya terbatas. Disiplin dan kepatuhan terhadap
atasan sangat diutamakan dalam kalangan RMG. Sebagai pelaksana, para
penginjil diwajibkan untuk setiap bulan menulis laporan. Laporan-laporan
itu kemudian diolah dan diterbitkan dalam sebuah majalah yang dinamakan
Berichte der Rheinische Missions-Gesellschaft, disingkat BRMG.
Secara total ada sekitar 10.000 halaman yang ditulis oleh para
penginjil RMG di Tanah Batak tentang segala hal yang terjadi di wilayah
penginjilannya. Dengan demikian BRMG merupakan sumber historis yang
teramat penting.
Salah satu peristiwa penting dalam sejarah Batak
adalah Perang Toba yang terjadi pada tahun 1878 dan 1883 sebagai inti
perlawanan Si Singamangaraja XII terhadap kekuasaan Belanda. Di dalam
buku yang sederhana ini kami sajikan laporan-laporan para zendeling
tentang Perang Toba Pertama. Laporan para penginjil itu kami sajikan
dalam bentuk edisi faksimile agar secara mudah teks asli yang berbahasa
Jerman dapat dibandingkan dengan terjemahan bahasa Indonesia, dan untuk
menjaga keakuratan terjemahannya.
Makalah ini mengungkap catatan
perjalanan para penginjil selama masa Perang Toba, dan tidak bermaksud
untuk mencari kontroversi melainkan untuk memberi sumbangan terhadap
sejarah Batak di awal zaman penjajahan. Tokoh I.L. Nommensen dan tokoh
penginjilan Batak lainnya berbicara sendiri dan dipandang dalam konteks
sejarah sebagai anak zaman dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Hal
tersebut, menurut hemat saya, perlu agar tidak terjadi pembentukan
mitos dan legenda yang berkaitan dengan tokoh sejarah ini. Sesuai dengan
perkembangan zaman penilaian terhadap tokoh-tokoh sejarah bisa saja
terjadi, dan hal tersebut adalah sesuatu yang lumrah. Saya menyadari
bahwa makalah saya yang sederhana ini oleh sebagian orang dianggap
“kontroversial”. Sesungguhnya makalah ini hanya menjadi “kontroversial”
karena selama ini penulisan sejarah penginjilan di Tanah Batak
didominasi oleh para penulis yang dekat dengan Huria Kristen Batak
Protestan (HKBP) sebagai penerus RMG. Sayang penulisan sejarah seperti
itu sangat sepihak dan tanpa adanya upaya untuk secara kritis
mengevaluasi tokoh-tokoh penginjilan serta motivasi lembaga penginjilan
yang berdiri di belakangnya.
Medan, 23 Juni 2009, Dr. Uli Kozok
Pendahuluan
“Mereka
mengatakan secara blak-blakan bahwa kami pelopor pemerintah kolonial
yang awalnya berbuat amal dengan cara memberi obat dsb. untuk akhirnya
menyerahkan tanah dan rakyat kepada pemerintah.” [1]
Demikian
keluhan I.L. Nommensen ketika baru membuka pos zending di lembah
Sipirok. Dugaan orang Sipirok ternyata benar. Tidak lama sesudah pindah
ke lembah Silindung, tepatnya pada awal tahun 1878, Nommensen berulang
kali meminta kepada pemerintah kolonial agar selekasnya menaklukkan
Silindung menjadi bagian dari wilayah Hindia-Belanda.
Pemerintah
Belanda akhirnya mengabulkan permintaan Nommensen sehingga terbentuk
koalisi injil dan pedang yang sangat sukses karena kedua belah pihak
memiliki musuh yang sama: Singamangaraja XII yang oleh zending dicap
sebagai “musuh bebuyutan pemerintah Belanda dan zending Kristen.”[2]
Bersama-sama mereka berangkat untuk mematahkan perjuangan
Singamangaraja. Pihak pemerintah dibekali dengan persenjataan,
organisasi, dan ilmu pengetahuan peperangan modern sementara pihak
zending dibekali dengan pengetahuan adat-istiadat dan bahasa. Kedua
belah pihak, zending Batak dan pemerintah kolonial, saling membutuhkan
dan saling melengkapi, dan tujuan mereka pun pada hakikatnya sama:
Memastikan agar orang Batak “terbuka pada pengaruh Eropa dan tunduk pada
kekuasaan Eropa”.[3]
Berkat pengetahuan bahasa dan budaya pihak
zending (terutama zendeling[4] Nommensen dan Simoneit) berhasil
meyakinkan ratusan raja agar berhenti mengadakan perlawanan dan menyerah
pada kekuasaan Belanda. Yang tidak mau menyerah didenda dan kampungnya
dibakar.
Melalui Gubernur Sumatra pemerintah Belanda membalas budi para penginjil dengan mengeluarkan surat penghargaan yang resmi:
Pemerintah
mengucapkan terima kasih kepada penginjil Rheinische
Missions-Gesellschaft di Barmen, terutama Bapak I. Nommensen dan Bapak
A. Simoneit yang bertempat tinggal di Silindung, atas jasa yang telah
diberikan selama ekspedisi melawan Toba. [5]
Selain surat penghargaan, para misionaris juga memperoleh 1000 Gulden dari pemerintah yang “dapat diambil setiap saat”.
Kerjasama
antara para penginjil RMG (Rheinische Missionsgesellschaft) dan
pemerintahan kolonial berlangsung sampai musuh mereka, Singamangharaja
XII, tewas dalam pertempuran dengan tentara Belanda pada tahun 1907.
Walaupun
peran Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) dan penginjilnya, terutama
Ludwig Ingwer Nommensen, dalam Perang Toba Pertama [6] (1878) terang
sekali, ada pihak yang melihat adanya ‘kontroversi’. Ada dua isu yang
sering menjadi topik perdebatan yang kontroversial, terutama di kalangan
Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang merupakan penerus RMG di
zaman kemerdekaan: 1. Peran para penginjil dalam menaklukkan Onafhankelijke Bataklanden (Tanah Batak yang Merdeka) dan 2. Hubungan Singamangaraja XII dengan Zending.
Butir
kedua menjadi persoalan yang memang peka karena sebagian besar orang
Batak memeluk agama Kristen dan menganggap I.L. Nommensen sebagai
apostel atau rasul sedangkan Singamangaraja XII diangkat sebagai
Pahlawan Nasional oleh pemerintah pada 9 November 1961. Bagaimana kalau
kedua pahlawan yang dua-duanya dianggap sakral oleh orang Batak ternyata
saling bermusuhan? Tentu hal itu akan menimbulkan dilema.
Dr. W.B. Sidjabat yang pada tahun 1982 menulis buku berjudul “Ahu Si Singamangaraja: Arti historis, politis, ekonomis dan religius Si Singamangaraja XII”
berusaha keras untuk meluruskan dilema itu dengan ‘mendamaikan’ kedua
tokoh sakral tersebut, dan juga berusaha untuk mengesampingkan peran
zending dalam penaklukan Tanah Batak yang masih merdeka.
Sejarahwan
Batak beragama Kristen Protestan ini menggunakan sumber baik primer
maupun sekunder, yang tertulis dalam berbagai bahasa termasuk Jerman dan
Belanda. Selain mengandalkan sumber tertulis ia juga melengkapinya
dengan puluhan wawancara. Di antara sumber primer termasuk bahan arsip
Belanda, dan juga bahan dari RMG itu sendiri, terutama laporan tahunan
(Jahresbericht) RMG, tetapi ia tidak menggunakan laporan RMG yang lebih
terinci dan yang diterbitkan sebulan sekali (Berichte der Rheinischen
Missionsgesellschaft). Daripada menggunakan sumber primer, yaitu tulisan
I.L. Nommensen sendiri yang terdapat dalam BRMG, khusus untuk Perang
Toba I, Sidjabat menggunakan buku yang ditulis oleh J.T. Nommensen (anak
I.L. Nommensen) berjudul Porsorion ni L. Nommensen yang
diterbitkan pada tahun 1925 di Zendingsdrukkerij Laguboti setelah I.L.
Nommensen meninggal (1918) dan menceritakan riwayat hidupnya yang
sebagian berdasarkan tulisan Nommensen di BRMG, tetapi tentu sudah
disadur dan diringkas.
Dalam BAB VI Pertarungan rakyat Sumatra Utara bersama Si Singamangaraja XII melawan Belanda butir 1–11 (hal. 151–186) membahas Perang Toba I, dan BAB itu sangat diwarnai oleh sumber sekunder Porsorion ni L. Nommensen.
Sayang Sidjabat tidak memanfaatkan sumber primernya, yaitu laporan
Nommensen dalam RBMG. Padahal BRMG merupakan sumber sejarah Batak yang
tak ternilai yang menceritakan sejarah Batak dari sudut pandang zending
selama lebih dari 50 tahun di atas sekitar 10.000 halaman. Tampaknya
hingga kini laporan lengkap I.L. Nommensen tentang Perang Toba I tidak
pernah digunakan untuk penulisan sejarah Batak hingga dirasakan perlu
untuk menerbitkan ulang catatan Nommensen tentang perang Toba dalam
terjemahan bahasa Indonesia.
Sidjabat tidak berniat menuliskan
sejarah secara objektif. Dengan sangat jelas ia memperlihatkan sikap pro
zending, pro Singamangaraja, dan anti Belanda. Belanda digambarkan
sebagai orang yang “cerdik “(hal. 157), memiliki “tangan kotor” (158),
“hendak memanfaatkan Nommensen”, menggunakan “tindakan keganasan” (171),
“mengadakan kegiatan ganas” (171), tujuannya “didorong oleh keserakahan
ekonomi dan militer”, dan pada pasukan Belanda, demikian ditulisnya,
yang menonjol “hanya unsur kebinatangan manusia” (179).
Walaupun
Nommensen pada Perang Toba I mendampingi pasukan Belanda dari hari
pertama sampai hari terakhir, dan walaupun ia sangat berperan dalam
pecahnya perang tersebut, Nommensen dan pihak zending jarang sekali
disebut oleh Sidjabat, dan kalaupun disebut maka Nommensen dan
kawan-kawannya digambarkan secara serba positif. Sidjabat berusaha keras
meyakinkan pembaca bukunya bahwa “kehadirannya [...] bukan dalam rangka
penjajahan” (156), Nommensen melakukan “pelbagai usaha untuk
mengelakkan pertumpahan darah” (165), “berulang kali mengatakan
kesediaannya menempuh jalan damai” (166), “tidak dapat menyetujui
tindakan kekerasan yang digunakan oleh Belanda” (159), dan “merasa sedih
sekali” melihat kampung-kampung Batak dibakar Belanda:
Nommensen
akhirnya ‘merasa pusing kepala dan terpaksa membaringkan dirinya di
dekat sebatang pohon ara dekat Paindoan’. Hasil pekerjaannya sejak tahun
1876 di Toba pastilah akan mengalami kesulitan akibat tindakan
kekerasan Belanda ini. [...] Pihak Nommensen bersama zendeling lain,
yang memang terjepit dalam keadaan ini [maksudnya Perang Toba, U.K.],
masih berusaha untuk mengelakkan pertumpahan darah. [7]
Sidjabat
tidak menafikan bahwa Nommensen memanggil Belanda ke Silindung tetapi ia
berargumentasi bahwa Belanda bagaimana pun sudah bertekad masuk ke
Silindung sehingga “Nommensen hanya bahan pelengkap saja dan bukan
merupakan alasan sebenarnya mengirim serdadu ke Silindung.” Kalau pun,
di samping laporan Nommensen kepada Belanda tentang rencana
Singamangaraja untuk membunuh atau mengusir para penginjil dan semua
orang beragama Islam, masih ada alasan lain maka Belanda mau masuk ke
Silindung, tetapi kesimpulan Sidjabat “bahwa kedatangan Belanda ke
Silindung itu ialah atas permintaan Nommensen, tidak benar” bertolak
belakang dengan laporan Nommensen sendiri. Sidjabat lalu meneruskan
argumentasinya:
Nommensen masih berusaha sekuat tenaga untuk
mendekati Residen Boyle dan Kontelir van Hoevel dan mengusulkan, agar
jangan sampai mengadakan tindakan kekerasan. [8]
Pertumpahan darah
dan kekerasan berlebihan memang dapat memojokkan pihak zending, namun
para penginjil bukan secara mutlak anti kekerasan. Pasukan bantuan
Kristen yang dipersenjatai Belanda, dan yang dikecam keras oleh
surat-kabar Hindia Belanda karena tindakan mereka yang “bengis dan keji”
dalam Perang Toba I, dibela pihak zending dengan kata-kata berikut:
Memang
benar bahwa mereka [pasukan bantuan Kristen, UK] diperintahkan Belanda
untuk membakar beberapa kampung. Kalau dalam perang memang ada
pertumpahan darah, hal itu perlu dimaklumi, di Eropa pun halnya
demikian, namun para penginjil selalu berusaha agar tidak ada
pertumpahan darah yang berlebihan. [9]
Sidjabat mengakui bahwa tidak semua orang Batak berpihak pada Singamangaraja:
…semangat juang dari pihak rakyat tidak pernah mundur kecuali semangat mereka yang mengkhianati perjuangan [10]
Namun secara umum timbul kesan seolah-olah para raja secara bahu-membahu melawan Belanda:
Pihak
Singamangaraja pun segera pula mengadakan reaksi. Raja-raja dan para
panglima diajak bermusyawarah untuk menentukan apakah mereka bersedia
melihat daerahnya dipreteli atau mengadakan perlawanan. Peristiwa ini
terjadi pada tahun 1877. Mufakat pun tercapai untuk tidak membiarkan
politik ekspansi Belanda berjalan terus. [11]
Kenyataan yang
sebenarnya jauh lebih kompleks sebagaimana yang diceritakan Sidjabat.
Pihak zending melaporkan bahwa “banyak daerah yang sudah berulang kali
meminta kepada pemerintah Belanda agar wilayahnya dianeksasi”.[12] Raja
yang memeluk agama Kristen rata-rata setuju kalau Silindung dimasukkan
ke dalam wilayah kolonial Belanda, dan juga di antara raja yang masih
berpegang pada agama nenek moyangnya tidak semua anti Belanda.
Sangat
penting bagi Sidjabat adalah rekonsiliasi zending dengan Singamangaraja
dan untuk upaya tersebut ia menyediakan sebuah BAB secara eksklusif: IX Sikap Sisingamangaraja XII terhadap Zending (hal. 395–411).
Menurutnya
ada kontinuitas sikap dari Singamangaraja X hingga XII terhadap zending
yang ditandai oleh rasa persahabatan: “tidak ada sikap permusuhan dari
Si Singamangaraja X terhadap pihak zending” (157), melainkan “sejak
tibanya pihak zendeling, hubungan dengan Singamangaraja segera
dipelihara dengan baik (157), “Si Singamangaraja XI juga malah
berkelakar dengan Nommensen” (158). Menurut Sidjabat Singamangaraja
bukan “musuh bebuyutan pemerintah Belanda dan zending Kristen”[13]
sebagaimana ia dicap oleh pihak zending, melainkan anggapan zending itu
hanya merupakan “godogan [sic!] pihak Kolonial Belanda.”
Kalau
kita percaya pada kesimpulan Sidjabat maka para penginjil terus-menerus
diakali dan dimanfaatkan Belanda. Sulit untuk mempercaya bahwa Nommensen
dkk., apalagi pihak pimpinan RMG yang selalu memantau pekerjaan mereka
dengan sangat seksama, begitu naif.
Pendekatan dikotomi
hitam-putih yang sedemikian agaknya tidak sesuai dengan kenyataan, dan
jelas tidak didukung oleh catatan para penginjil, terutama Nommensen
dalam laporannya di BRMG.
Pada tahun 1876 Nommensen masih percaya bahwa pekerjaan zending bisa lebih sukses di daerah yang merdeka:
Menurut
berita yang kami peroleh dari Sibolga [14], tampaknya pemerintahan
Belanda untuk sementara tidak ditetapkan di Silindung. Berita itu
menggembirakan. Makin lama makin kami sadari bahwa keadaan di daerah
merdeka lebih mendukung daripada di daerah pemerintahan betapa pun
kejamnya dan liarnya orang Batak merdeka bisa menyusahkan seorang
penginjil. Orang Batak merdeka lebih bersemangat dan jiwanya lebih
terbuka [daripada mereka di daerah yang dikuasai Belanda]. [15]
Namun
alasan utama maka zending tidak menginginkan Belanda masuk karena para
zendeling khawatir bahwa bersama dengan orang Belanda orang Islam akan
masuk ke Tanah Batak:
Semoga dengan bantuan Tuhan kami berhasil
mengkristenkan semua orang Batak di lembah ini [Silindung] sebelum
datang pemerintahan Belanda karena pemerintahan Belanda tentu akan
membawa orang Islam ke sini. [16]
Sikap ini berubah setelah
zending memiliki basis umat Kristen yang lebih kokoh. Pada tahun 1878,
setelah keadaan di Silindung menghangat, zending meminta kepada
pemerintah Belanda agar Silindung segera dimasukkan ke dalam wilayah
Hindia-Belanda:
Kalau Belanda sekarang hendak menyelenggarakan
pemerintahan maka hal ini tentu membawa berkat. [..] Apakah hal itu juga
menguntungkan zending, apakah dengan pemerintahan Belanda agama Islam
akan masuk adalah pertanyaan yang lain lagi. Oleh sebab itu maka para
misionaris belum pernah meminta agar Silindung dianeksasi. Kalau hal itu
sekarang diminta [...] jelas pemerintahan Belanda juga sangat
bermanfaat bagi zending kita, dan bila kelak kita harus bersaing dengan
agama Islam maka sekarang agama Kristen di Silindung sudah memiliki
kemajuan yang susah terkejar. [17}
Ternyata zending tidak menduga
bahwa permintaan mereka agar pemerintah mengirim pasukan ke Silindung
akan mendapat kecaman keras.
Malahan pihak di Belanda yang
bersahabat dengan zending keberatan dengan kenyataan bahwa penginjil
kita meminta bantuan pemerintah Belanda. [18]
Menurut penginjil mereka tidak bersalah memanggil bantuan Belanda karena mereka berada di wilayah yang “pada hakikatnya” (eigentlich) berada di bawah kekuasaan Belanda. Masalahnya di sini bahwa mungkin de jure (secara hukum) Silindung sudah termasuk wilayah Hindia-Belanda tetapi tidak de facto (secara nyata) karena pemerintah Belanda tidak ada perwakilan apa-apa di sana dan pemerintahan sepenuhnya berada di tangan raja.
Kalau
ada utusan Singamangaraja datang ke Silindung untuk menghasut rakyat –
yang pada hakikatnya telah berada di bawah kekuasaan Belanda – dan
menyerukan agar mereka tunduk pada Aceh, dan kalau penginjil kita
mendengar rencana orang Aceh itu untuk mendirikan kekuasaannya di atas
kerajaan Singamangaraja, dan berusaha lagi untuk menjatuhkan kekuasaan
Belanda di Angkola, Mandailing, dan Padang Bolak, apakah penginjil kita
bukan berkewajiban untuk segera melaporkan hal itu kepada Residen?
Bukannya tidak bertanggung jawab kalau mereka tidak melakukan apa-apa?
Kalau pemerintah Belanda, berdasarkan laporan penginjil kita, mengirim
pasukannya ke Silindung apakah hal itu kesalahan penginjil kita?” [19]
Alasan
hukum sekali lagi dimanfaatkan ketika zending dikecam bersama dengan
pasukan memasuki dan menduduki Bahal Batu yang termasuk wilayah
Singamangaraja – hal mana sudah barang tentu merupakan provokasi. Di
sini mereka menjawab bahwa 1. Bahal Batu pun sudah termasuk wilayah
Belanda, dan 2. Singamangaraja hanya menjadi raja di Bangkara.[20]
Menarik untuk dicatat di sini bahwa hanya setahun sebelumnya, 1977,
Gubernur Sumatra menyuruh penginjil untuk meninggalkan Bahal Batu karena
menurutnya Bahal Batu tidak termasuk wilayah Hindia-Belanda. Pernyataan
itu memang kemudian ditarik kembali, tetapi kisah ini membuktikan bahwa
pemerintah Belanda sendiri tidak mengetahui dengan pasti daerah mana
yang termasuk wilayahnya dan mana yang tidak karena mereka tidak
berminat untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerah Silindung.
Pandangan
dan interpretasi Sidjabat tentang sejarah seputar Perang Toba Pertama
sekarang secara umum diterima, terutama oleh kalangan HKBP. Di dalam
salah satu makalah keluaran HKBP berjudul Pahlawan Nasional Indonesia Si Singamangaraja di mata HKBP oleh Pdt. Rachman Tua Munthe, Praeses HKBP Distrik III Humbang, disebutkan bahwa,
…selama
timbulnya bentrokan di antara Si Singamangaraja XII dengan pemerintah
Belanda, Gereja (Zending) berada pada pihak ketiga yang mencoba
mengadakan perjanjian perdamaian. Dengan demikian, pemerintah kolonial
Belanda tidak sejajar dengan Zending dan Gereja.
Munthe juga mengutip buku berjudul Abastraksi [sic!] Pelayanan DR. Ingwer Ludwig Nommensen di Tanah Batak:[21]
Waktu perang Raja Sisingamangaraja XII melawan Tentara Belanda, Nommensen mengambil sikap bijaksana dan netral.
Tentu
saja kepentingan zending dan pemerintah berbeda, tetapi di berbagai
bidang kepentingan mereka sejajar. Baik zending maupun pemerintah
kolonial melihatnya sebagai tugas mereka untuk membawa peradaban pada
bangsa Batak yang mereka cap sebagai liar dan biadab.
Para misionaris juga menekankan bahwa Belanda senantiasa dapat mengandalkan Batak Kristen sebagai teman yang setia:
Betapa
orang Batak Kristen dapat diandalkan tampak jelas sekarang, sebagai
orang Islam orang Batak takkan mungkin menjadi rakyat yang patuh pada
Belanda.” [22]
[...] memang benar bahwa orang Silindung yang
Kristen adalah teman setia Belanda, dan bahwa pasukan bantuan mereka
berperang bersama pasukan Belanda.” [23]
Kesejajaran zending dan
pemerintah tampak pada bahasa yang digunakan Nommensen. Ketika ia
menceritakan kembali perjalanannya mengikuti ekspedisi Toba ia secara
konsisten menggunakan kata ‘kami’. Kata ‘kami’ malahan digunakannya
untuk kegiatan yang dilakukan tentara. Dari hal ini ternyata betapa
Nommensen mengidentifikasikan diri dengan tentara:
• Sesudah Residen Boyle bersama Kolonel Engel naik ke sini bersama dengan 200 pasukan lagi maka kami mulai menyerang. [24]
• Sekitar jam 3 sore kampung-kampung itu sudah di tangan kami. 10–12 laki-laki dan sekitar 70 perempuan jatuh ke tangan kami lalu ditawan. [25]
• Di pihak kami dua yang meninggal dan 12 yang cedera. [26]
• [...] berpura-pura menjadi teman dan mengatakan takluk pada kami. [27]
Sedangkan para pejuang di pihak Singamangaraja disebutnya sebagai musuh:
• Belum ada berita tentang adanya gerakan dari pihak musuh. [28]
• Pihak musuh
menyerang dua kali masing-masing sekitar 500–700 orang. Serangan kedua
lebih kuat tetapi dua-duanya dapat ditangkis dengan mudah dan tanpa
jatuhnya korban di pihak Belanda sementara di pihak musuh
ada 20 orang yang cedera dan 2 yang mati. [...] Kalau pasukan di Bahal
Batu dapat bertahan sampai pasukan tambahan tiba maka kemungkinan pihak musuh menang sangat tipis karena Belanda unggul dalam hal persenjataan dan disiplin. [29]
• Dari Bahal Batu mereka menuju arah barat ke Butar dan menaklukkan kampung-kampung yang berpihak pada musuh. [30]
• Hal tersebut diutamakan oleh para zendeling supaya para musuh pun bisa melihat niat baiknya. [31]
• Setelah kami bekerja dengan tenang selama beberapa minggu musuh kita yang jahat bergerak lagi. [32]
• Simoneit dan Israel tinggal di sini untuk membantu kami kalau-kalau pos diserang musuh. [33]
• Pada malam hari tanggal 16 Februari musuh menembaki kamp tentara dan meninggalkan tiga surat dari buluh yang mengumumkan perang terhadap kami. [34]
• Setiap hari musuh datang, kadang-kadang ribuan orang. [35]
• Kebanyakan musuh
berasal dari daerah di sekitar Danau Toba, dari Butar dan Lobu Siregar,
digerakkan oleh Singamangaraja, seorang demagog yang menghasut dan
mencelakakan rakyatnya. [36]
• Beberapa kali peluru masuk ke rumah pada malam hari, dua kali musuh berusaha untuk membakarnya. [37]
Masih
banyak lagi contoh dapat disebut yang menunjukkan bahwa para misionaris
jelas berpihak pada Belanda dan menganggap para pejuang yang ingin
mempertahankan kemerdekaannya sebagai musuhnya.
Nommensen juga memuji perwira dan pegawai administrasi Belanda:
„Berkat
tangan Tuhan,“ demikianlah tulisnya penginjil Nommensen, „dan hal ini
menjadi tanda bahwa Tuhan menghendaki rakyat hidup dalam kedamaian,
berkat tangan Tuhan ekspedisi militer dikepalai oleh seorang yang sudah
bertahun-tahun mengenal orang Batak, orang yang mengetahui kepentingan
rakyat, dan yang didampingi perwira yang merasa belas kasihan dengan
musuh, yang disegani musuh karena keberaniannya menyerang, yang dengan
lapang hati tidak mengejar mereka yang lari. Dengan demikian orang Batak
dapat kesan betapa besar keagungan dan kemuliaan orang Eropa sehingga
mereka tidak dapat membenci kita, apalagi karena Tuhan menunjukkannya
bahwa mereka sendiri bersalah.” [38]
Perlu ditekankan bahwa
Nommensen membantu pemerintah dan tentara Belanda dengan rela hati tanpa
ada unsur paksaan apa pun. Nommensen melakukannya karena menurut apa
yang dipelajarinya di seminaris RMG di Barmen para penginjil
berkewajiban untuk selalu bekerjasama dengan pihak pemerintah kolonial
dan karena ia percaya bahwa orang Batak hanya bisa menjadi manusia yang
beradab bila berada di bawah kekuasaan bangsa Eropa.
Belakangan ini saya membaca sebuah esai di internet yang ditulis oleh Limantina Sihaloho, seorang teolog dari Medan:
Secara
pribadi, saya juga kagum pada I.L. Nommensen. Masalahnya, kagum saja
tidak cukup. Menjadikan seseorang menjadi legenda bahkan mitos juga
dapat berbahaya. Sayangnya manusia mempunyai kecenderungan untuk
melegendakan dan memitoskan seseorang terutama yang telah lama
meninggal. [...] Nommensen adalah anak zamannya, dengan segala kelebihan
dan kekurangannya. [39]
Makalah ini tidak bermaksud untuk
mengurangi rasa kagum pada laki-laki suku Frisia dari pulau Nordstrand
yang bukan saja sebangsa tetapi juga sesuku dengan saya, tetapi sebagai
salah satu sumbangan agar I.L. Nommensen dan tokoh penginjilan Batak
lainnya dipandang sebagai “anak zaman dengan segala kelebihan dan
kekurangannya” dan tidak sebagai tokoh legendaris. Seorang tokoh dari
abad ke-19 tidak patut dinilai berdasarkan nilai-nilai abad ke-21. Bila
seorang Jerman sekarang mengatakan bahwa bangsa Jerman lebih unggul dari
bangsa lain maka orang itu pasti ditertawakan. Konsep keunggulan ras
kini dianggap sebagai sesuatu dari zaman yang berlalu yang sama sekali
tidak ada tempat dalam masyarakat Jerman modern. Pada awal abad ke-21
paham keunggulan ras Germania dianggap sebagai paham yang sesat
sementara pada abad ke-19, zamannya Nommensen, keunggulan ras putih
dianggap sebagai kenyataan.
Nommensen dilahirkan pada tahun 1834
di pulau Nordstrand (yang bila diterjemahkan berarti Pantai Utara).
Ketika ia berumur 14 tahun gerakan demokrasi Jerman memberontak melawan
kekaisaran, namun revolusi itu gagal. Waktu Nommensen masuk seminaris
RMG pada tahun 1857 Jerman belum bersatu tetapi terdiri atas puluhan
negeri kecil yang masing-masing berhak untuk membuat peraturan sendiri.
Ketika Nommensen pindah ke Pearaja, negeri Jerman (Deutsches Reich) baru berumur dua tahun. Setelah kerajaan-kerajaan kecil akhirnya bersatu dalam Deutsches Reich maka
Jerman mengalami perkembangan yang pesat dan barangkali menjadi negara
yang paling maju di dunia. Namun, beda dengan negara Eropa lainnya,
Jerman, yang baru menjadi sebuah negara pada tahun 1871, belum memiliki
daerah penjajahan. [40]
Nommensen dan penginjil RMG lainnya bukan
hanya anak zaman, tetapi juga dipengaruhi oleh aliran teologi yang
dominan di seminaris RMG. Makalah ini hanya akan menyentuh saja kerangka
teologi yang dimiliki oleh para pemimpin dan guru seminaris RMG, dan
pembaca yang ingin mengetahuinya secara lebih spesifik dianjurkan
membaca artikel Johann (Hans) Angerler berjudul Mission, Kolonialismus, dan Missionierte: Über die deutsche Batakmission in Sumatra.
Di
antara guru seminaris ada dua tokoh yang paling berpengaruh: G.L. von
Rohden (1815–1889) dan F. Fabri (1824–1891). Menurut von Rohden warna
kulit suatu bangsa memperlihatkan tingkat dekadensinya. Makin hitam
warna kulit makin parah kemerosotan bangsa itu baik secara moral maupun
intelek. [41] Menurutnya bangsa yang dipilih Tuhan adalah bangsa Israel,
tetapi setelah Yesus Kristus datang ke bumi maka pusat sejarah dunia
berpindah, pertama ke barat (Roma), lalu ke utara (Jerman). Bangsa
Jerman dan bangsa Germania lain (Belanda, Skandinavia dan Inggris)
dilihatnya sebagai bangsa yang unggul yang dikelilingi bangsa yang lebih
rendah seperti Perancis dan Rusia yang hendak menghancurkannya dengan
membawa “bibit setan yang tumbuh subur di negerinya” untuk memusnahkan
bangsa Jerman. Ideologi itu dibawa para penginjil ke Tanah Batak. Di
situ pun bangsa terpilih (Batak) dikelilingi oleh bangsa Melayu yang
hina, berdosa, dan berada dalam pengaruh “kekelaman agama Islam yang
mengerikan” yang hendak menghancurkan bangsa Batak. Tujuan zending ialah
untuk “mengubah kanibal yang kasar menjadi manusia bermartabat,
mengubah gerombolan pembunuh berdarah dingin menjadi paroki Kristen,
mengubah orang liar yang malas, kotor, tak senonoh dan keji menjadi abdi
Tuhan yang beriman, rendah hati, dan penuh kasih sayang.” Von Rohden
menjadi guru sejarah, geografi, antropologi, dan sejarah agama, dan
mulai 1884 hingga 1889 ia menggantikan Fabri sebagai Direktur RMG. [42]
Menurut
Fabri, orang Batak merupakan bangsa yang, bila dibandingkan dengan
bangsa lain di Indonesia, relatif lebih unggul, dan jelas tidak serendah
bangsa Melayu. Fabri malahan melihat adanya persamaan dengan ras Eropa:
Dibandingkan
orang Melayu, mereka [orang Batak, UK] jauh lebih mirip dengan orang
Indo-Germania, baik bentuk kepala, tubuh, dan warna kulitnya. Warna
kulitnya sedemikian coklat muda sehingga malahan ada yang pipinya
kemerah-merahan. Rambutnya juga lebih lembut dan lebih padat daripada
rambut orang Melayu, dan kadang-kadang kecokelat-cokelatan. Tubuhnya
tegap dan berotot. Tampaknya mereka merupakan ras menengah antara ras
Eropa dan Melayu. [43]
Fabri yang menjadi Direktur RMG dari tahun
1857–1884 memiliki latar belakang ideologi yang mirip dengan von Rohden.
Ia juga percaya pada keunggulan ras putih. Peristiwa yang membuat ras
putih unggul, menurutnya, adalah pembangunan menara Babel yang
melambangkan keangkuhan dan kesombongan manusia. Pembangunan menara ini
diprakarsai oleh keturunan Ham maka mereka memikul dosa yang terberat
sementara keturunan Yafet yang paling sedikit berdosa.
Menurut
buku Genesis maka Sem, Ham dan Yafet, ketiga anak nabi Nuh, menjadi
nenek moyang semua orang di dunia. Dalam Genesis 9:20-28 anak Ham,
Kanaan, dikutuk nabi Nuh: “Terkutuklah Kanaan! Dia akan menjadi budak
terhina bagi saudara-saudaranya. Pujilah Tuhan, Allah Sem! Kanaan akan
menjadi budak Sem. Semoga Allah menambahkan berkat kepada Yafet dengan
meluaskan tempat kediamannya. Semoga keturunannya tinggal bersama-sama
dengan keturunan Sem. Kanaan akan menjadi budak Yafet.”
Menurut
Genesis 10 maka anak-cucu Yafet menjadi “leluhur bangsa-bangsa yang
tinggal di sepanjang pantai dan di pulau-pulau” (Eropa), Sem menjadi
leluhur bangsa Ibrani, sementara keturunan keempat anak Ham, yaitu Kus,
Mesir, Libia dan Kanaan, tersebar paling jauh.
Dengan demikian,
dunia ini terbagi dalam tiga kelompok utama: Eropa atau ras putih
(keturunan Yafet), Bangsa Israel (keturunan Sem), sementara semua bangsa
yang lain termasuk keturunan Ham yang ditakdirkan menjadi budak
keturunan Yafet.
Dengan demikian, menurut ideologi para teolog
RMG, maka layak keturunan Yafet (orang Eropa) menjajah tanah keturunan
Ham dan membuat penduduknya menjadi budaknya.
Keturunan Ham,
terkutuk karena Ham melihat aurat ayahnya, dan berdosa karena mau
membangun menara yang bisa mencapai langit – demikianlah ideologi Fabri
yang memengaruhi para penginjil termasuk Nommensen – dihukum Tuhan
dengan membuat keturunannya menjadi rusak, kekurangan dalam semua hal,
rupa, warna kulit, dan intelek. Jadi bangsa putih berhak untuk menjajah
dan mengeksploitasi bangsa berwarna. Penjajahan malah merupakan tindakan
manusiawi untuk memajukan bangsa berkulit hitam. Salah satu cara untuk
mengangkat martabat bangsa terkutuk itu adalah dengan mengkristenkan
mereka supaya mereka menjadi lebih beradab. Akan tetapi, kendatipun
mereka sudah beragama Kristen, mereka tetap lebih rendah daripada ras
Eropa yang keturunan Yafet.
Dengan demikian tidak mengherankan bila para penginjil merasa lebih dekat kepada Belanda daripada kepada orang Batak.
Sidjabat
dan pengarang lain sering menekankan adanya jarak antara penginjil RMG
dan pihak Belanda karena bangsa mereka berbeda. Para penginjil RMG
berbangsa Jerman sementara pemerintah kolonial dijalankan oleh bangsa
Belanda. Dengan demikian, begitu kesimpulannya, penjajahan bukan
kepentingan para penginjil. Hal itu keliru karena sebagaimana dijelaskan
di atas penjajahan bangsa putih terhadap bangsa yang berwarna adalah
hal yang penting demi mengangkat martabat bangsa keturunan Ham. Pihak
penginjil RMG sama sekali tidak anti penjajahan melainkan mendukungnya
dengan penuh hati.
Kita juga bisa melihat dari laporan para
penginjil bahwa mereka tidak begitu membedakan antara Belanda dan Jerman
dan lebih menekankan kepentingan bersama mereka dengan menggunakan
istilah Eropa daripada Belanda:
Hal yang paling penting adalah
bahwa Toba keluar dari isolasinya, terbuka pada pengaruh Eropa dan
tunduk pada kekuasaan Eropa sehingga dengan sangat mudah zending kita
bisa masuk. Memang ada kemungkinan bahwa orang Toba membenci orang Eropa
setelah Belanda mengalahkan dan membakar kampung mereka. Namun hal itu
tidak terjadi. [44]
Perlu juga diingatkan bahwa orang Belanda
waktu itu masih menamakan bahasanya ‘Nederduits’ (Jerman Rendah [45])
sementara Nommensen sendiri penutur asli bahasa Frisia yang merupakan
salah satu dialek Jerman Rendah yang sangat dekat dengan bahasa Belanda.
Namun
yang lebih penting lagi ialah kenyataan bahwa menurut ideologi rasis
yang dianut di kalangan RMG, Belanda sebagai salah satu bangsa Germania
merupakan bangsa yang sama unggul dengan bangsa Jerman.
Sebagaimana jauh para penginjil mengidentifikasikan diri dengan para penjajah tampak pada kutipan berikut:
Untuk
menilai benar salahnya penaklukan Toba yang dilakukan dengan begitu
cepat dan dengan sangat sedikit biaya maupun jumlah korban, maka perlu
diperhatikan butir-butir berikut: [...] [46]
Rupanya bagi zending
jumlah korban di pihak musuh mereka (pejuang Singamangaraja) tidak perlu
dihitung. Tidak diketahui dengan pasti berapa banyak orang meninggal di
pihak pejuang Singamangaraja dan sekutunya serta di kalangan penduduk
sipil. Paling tidak puluhan namun lebih mungkin sampai beberapa ratus
korban yang tewas belum lagi yang cedera. Jumlah yang tidak sedikit,
tetapi yang diungkapkan zending dalam konteks ini malahan biaya perang.
Kedekatan
Nommensen dan para penginjil lain dengan penjajah sebenarnya tidak
mengherankan mengingat pendidikan yang mereka peroleh di RMG. Fabri,
Direktur RMG, menekankan agar para penginjil senantiasa menjalin kerja
sama yang erat dengan pemerintah kolonial karena tujuan zending dan
pemerintahan kolonial pada hakikatnya sama.
Catatan
1.
BRMG 1864:232. BRMG (Berichte der Rheinischen Missions- gesellschaft)
adalah laporan bulanan zending RMG yang diterbitkan sebulan sekali oleh
pimpinan RMG. Isinya terutama laporan dari para penginjil dan pimpinan
RMG tentang kemajuan di masing- masing wilayah zending serta peristiwa
yang terjadi. BRMG diter- bitkan khusus untuk kalangan RMG serta para
sahabat zending yang sangat penting bagi RMG sebagai salah satu sumber
pendanaan yang utama. Artikel BRMG yang berkaitan dengan zending Batak
mulai dari hari-hari paling awal hingga tahun 1914 ketika perang dunia
pertama pecah dan penerbitan BRMG dihentikan.
2. “Todfeind der holländischen Regierung und der Mission” Jahres- bericht der Rheinischen Missionsgesellschaft (Laporan tahunan zending RMG) 1907:46. 3. BRMG 1882 (7): 204.
4.
Dalam makalah ini saya menggunakan dua istilah bahasa Belanda yang
lazim dipakai dalam konteks penginjilan, yaitu zending (penginjilan,
misi) serta zendeling (penginjil, misionaris). 5. BRMG 1879 (6): 170
6.
Perang Toba juga sering disebut sebagai “Perang Batak” namun istilah
Perang Batak sudah duluan digunakan untuk Perang Sunggal (1872-1895)
yang juga sering disebut Perang Batak sesuai dengan istilah baku bahasa
Belanda yaitu Batak Oorlog.
7. W.B. Sidjabat. Ahu Si Singamangaraja: Arti historis, politis, ekonomis dan religius Si Singamangaraja XII, Jakarta: Sinar Harapan. 1982. 8. ibid. hal.160. Sayang Sidjabat tidak menyebut dari sumber mana ia memperoleh informasi ini.
9.
BRMG 1878 (7): 194 10. Sidjabat op.cit. hal.176. Rupanya Sidjabat
enggan menyebut pihak mana yang dimaksud karena terutama orang Batak
yang Kristen yang berkolaborasi dengan Belanda. 11. ibid. hal.159 12.
RMG 1878: 118 13. “Todfeind der holländischen Regierung und der Mission”
Jahres- bericht der Rheinischen Missionsgesellschaft (Laporan
tahunan zending RMG) 1907:46. 14. Baik di sini maupun di semua dokumen
lainnya Sibolga tetap dieja Siboga – nama asli kota itu.15. Sepucuk Surat dari Penginjil Nommensen. BRMG 1876: 68 16. ibid. hal.68 17. BRMG 1878:118 18. BRMG 1878 (7): 193
19.
ibid. hal.193 20. ibid. hal.194. Bangkara kini sering salah dieja
Bakara atau, sesuai dengan pelafalannya, Bakkara. Ejaan asli dalam
bahasa Batak adalah b^kr ‘Bangkara’. 21. Seksi sejarah dan penggalian nilai budaya panitia napak tilas perjalanan Dr. I.L. Nommensen di Tanah Batak. 2007.
22. BRMG 1878: 154 23. BRMG 1878 (7): 194 24. BRMG 1878 (12): 371 25.
ibid. hal.373 26. ibid. hal.377 27. ibid. hal.387 28. BRMG 1878: 117 29.
op.cit. hal. 154 30. op.cit. hal. 171 31. op.cit. hal. 195 32. op.cit.
hal. 197 33. op.cit. hal. 198 34. op.cit. hal. 199 35. op.cit. hal. 200
36. ibid 37. op.cit. hal. 201 38. BRMG 1882 (7): 204 39. Limantina
Sihaloho, Kegelisahan Hati Seorang Dosen Teologi: Antara Nommensen dan TB Silalahi,
18 April 2007. http:/
/bataknews.wordpress.com/2007/04/18/teologi-kristen/ 40. Jerman baru
memperoleh daerah jajahan antara tahun 1884– 1899 namun kehilangannya
lagi setelah Jerman kalah dalam Perang Dunia Pertama. 41. Hans Angerler.
Mission, Kolonialismus, dan Missionierte: Über die deutsche
Batakmission in Sumatra. Beiträge zur historischen Sozialkunde 2. 1993 53–61. Lihat juga Lothar Schreiner, Adat und Evangelium: zur Bedeutung der altvölkischen Lebensordnungen für Kirche und Mission unter den Batak in Nordsumatra, Gütersloh: Mohn 1972, serta G. Menzel, Aus 150 Jahren Missionsgeschichte: die Rheinische Mission.
Wuppertal: Verlag der Vereinigten Evangelischen Mission 1978:209–14.
42. Setelah 27 tahun mengabdi pada RMG Fabri, yang memprakarsai zending
Batak, memutuskan menjadi penulis dan sepenuhnya mengabdikan diri kepada
gerakan kolonial Jerman. 43. BRMG 1862:12 44. BRMG 1882 (7): 204.
45. ‘Rendah’ merujuk pada kenyataan bahwa daerahnya datar tidak bergunung, bukan pada status bahasa. 46. BRMG 1882 (7): 202.
Kronologi
Kronologi Perang Toba I
Berikut
ini urutan peristiwa perang Toba sebagaimana direkonstruksi dari
laporan penginjil Nommensen dan Metzler. Tanggal-tanggal setelah 5 Mei
tidak pasti karena tidak disebut berapa lama pasukan Belanda
beristirahat di Paranginan.
Akhir 1877
Desas-desus Aceh akan bersekutu dengan Toba
17Des 77 Penginjil di Bahal Batu menerima surat dari Silindung bahwa para ulubalang sudah tiba di Bangkara
Jan. 78 Utusan Singamangaraja datang mengancam misionaris dan orang Kristen
Akhir Janʻ78 Para Penginjil minta agar Belanda mengirim pasukannya
1 Feb 78 Pasukan pertama di bawah pimpinan Kapten Scheltens bersama dengan Kontrolir Hoevel menuju Pearaja
6 Feb 78 Pasukan dengan 80 tentara dan seorang Kontrolir tiba di Pearaja
15Feb 78 Pasukan tiba di Bahal Batu bersama dengan penginjil dari Silindung
16Feb 78 Pengumuman perang dari pihak SSM
17Feb 78 Metzler disuruh membawa istrinya ke Silindung. Ibu Metzler diantar suaminya dan Johannsen ke Pansur na Pitu
19Feb 78 Metzler kembali ke Bahal Batu, tetapi tanggal 20 Feb 1878 kembali lagi ke Silindung
Feb. 1878 Pasukan Singamangaraja menyerang Bahal Batu
1 Marʻ78 Pasukan tambahan berangkat dari Sibolga
14Mar 78 Residen Boyle datang bersama 250 tentara dan Kolonel Engels dari Sibolga
15Mar 78 Silindung dinyatakan menjadi bagian dari wilayah Hindia-Belanda
16Mar 78 Pasukan berangkat ke Bahal Batu. Bahal Batu pun dinyatakan menjadi wilayah Hindia-Belanda
17Mar 78 Butar, Lobu Siregar dan Naga Saribu diserang (17–20 Maret)
Maret Pasukan tambahan 300 tentara dan 100 narapidana diberangkatkan
30Apr
78 Ekspedisi militer untuk menumpaskan pasukan Singamangaraja
dimulai. Penginjil Nommensen dan Simoneit mendampingi pasukan Belanda.
Lintong ni Huta ditaklukkan
1 Mei 78 Bangkara diserang
2 Mei 78 Kampung-kampung di sekitar Bangkara diserang
3 Mei 78 Raja-raja di Bangkara dipaksa melakukan sumpah setia mengakui kedaulatan Belanda
4 Mei 78 Pasukan maju ke Paranginan
5 Mei 78 Pasukan beristirahat selama beberapa hari di Paranginan
8 Mei 78 Huta Ginjang, Meat dan Gugur ditaklukkan. Pasukan beristirahat selama beberapa hari di Gurgur
11Mei’78 Pasukan menaklukkan Lintong ni Huta Pohan, Panghodia dan Tara Bunga.
12 Mei 1878 Pasukan kembali ke Bahal Batu melalui Onan Geang-Geang, Pintu Bosi, Parik Sabungan dan Lobu Siregar
akhir Mei Nommensen membantu Residen di Bahal Batu
Benteng untuk 80 tentara dibangun di Sipoholon
27Des’78 Nommensen dan Simoneit menerima penghargaan dari pemerintah Belanda
Perang di Toba (Sumatra)
Perang di Toba (Sumatra)
BRMG 1878 hal. 153–154
Pada
bulan Januari 1878 muncul utusan Singamangaraja yang menghasut orang
agar membunuh para misionaris dan semua orang beragama Kristen. Ketika
mau ditangkap oleh para raja yang sudah memeluk agama Kristen maka
utusan itu melarikan diri. Sebagai akibat dari ini serta gelagat buruk
lainnya maka pasukan 100 tentara yang telah siaga di Sibolga disuruh
naik ke Silindung. Kontrolir [1] yang mendampingi pasukan tersebut
diberi tugas untuk mengadakan perundingan damai yang tidak berhasil
karena raja-raja di Silindung tidak mau sekali lagi bersumpah setia
kepada pemerintah Belanda yang selama ini tidak pernah peduli dengan
perjanjian-perjanjian yang dahulu dijalinnya. Raja-raja dari Toba,
khususnya Singamangaraja, sama sekali tidak datang kecuali satu yang
berpura-pura bersahabat namun kemudian ketahuan bermusuhan.
Maka
pasukan maju sampai Bahal Batu, pos paling utara, lalu mendirikan
benteng pertahanan di sana. Singamangaraja dan para raja dari Toba
secara resmi mengumumkan perang terhadap Belanda. Penginjil Metzler
menuruti nasihat Kontrolir untuk datang ke Silindung sementara penginjil
Püse, Simoneit dan Staudte serta seluruh orang Batak yang Kristen
bergabung dengan pasukan di benteng.
Pihak musuh menyerang dua
kali masing-masing dengan sekitar 500–700 orang. Serangan kedua lebih
kuat tetapi dua-duanya dapat ditangkis dengan mudah dan tanpa jatuhnya
korban di pihak Belanda sementara di pihak musuh ada 20 orang yang
cedera dan 2 yang mati.
Serangan yang lebih dahsyat diperkirakan
akan dilangsungkan pada 2 Maret. Pasukan tambahan sebanyak 200 atau 300
tentara direncanakan berangkat 1 Maret dari Sibolga. Kalau pasukan di
Bahal Batu dapat bertahan sampai pasukan tambahan tiba maka kemungkinan
pihak musuh menang sangat tipis karena Belanda unggul dalam hal
persenjataan dan disiplin. Kolonel Engel yang memimpin pasukan ini malah
diberi tugas untuk melancarkan serangan bahkan sampai ke Danau Toba.
Tampaknya jelas bahwa Silindung tidak lagi dapat dibiarkan tanpa
pemerintahan. Selain itu perlu dipikirkan apakah bukan lebih baik bagi
pemerintah Belanda untuk langsung saja menaklukkan seluruh Toba dan
sekaligus menjaga agar orang Aceh yang beragama Islam jangan menguasai
Toba dan mengislamkan ratusan ribu kafir Toba. Betapa orang Batak
Kristen dapat diandalkan tampak jelas sekarang, sebagai orang Islam
orang Batak takkan mungkin menjadi rakyat yang patuh pada Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar